♠ Posted by IMM Tarbiyah in Kuliah Agama at 19.28
1.
Pengertian
Para ulama ushul
fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seorang
perbuatannya dikenai khitob Allah SWT, yang disebut dengan mukallaf.
Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqih, istilah
mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah allah maupun dengan larangan-nya. Seluruh tindakan mukallaf harus
dipertanggung jawabkan. Apabila mengerjakan perintah allah swt, ia mendapat
imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan
larangan allah swt, ia mendapat risiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[1]
2.
Dasar Taklif
Seorang manusia
belum dikenai taklif (pembenanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum.
Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum
adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seorang baru dapat dibebani hukum apabila
ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan
anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena tidak atau belum berakal, mereka
dianggap tidak dapat memahami taklif fari syara’. Termasuk ke dalam hal ini
adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang sedang tidur,
mabuk dan mabuk tidak dikenai taklif karena berada dalam keadaan tidak sadar
(hilang akal). Hal ini, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. : “diangkatkan
pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai ia baligh, dan gila sampai sembuh.” (HR. Bukhari, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin
Abi Thalib).
Dalam hadits
lain dikatakan : “ummatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa,
tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.” (HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani).
3.
Syarat-syarat Taklif
Ada dua syarat
sahnya memberi beban kepada mukallaf, yaitu berikut ini :
a.
Mukallaf dapat memahami dalil taklif,
yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah secara
langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif
tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat
mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal
sehingga dengan akal tersebut adanya nash-nash yang dibebankan dapat diterima
pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Dengan akal
tertujulah keinginan untuk mengikuti. Ketika akal itu adalah hal yang sembunyi
yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, maka syar’i telah menghubungkan
beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi
tempat dugaan akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian barang siapa telah
sampai pada keadaan dewasa dan tak tampak padanya sifat-sifat yang merusak
kekuatan akalnya, ia telah sempurna untuk diberi beban. Atas dasar ini orang
gila dan anak-anak tidak dapat deberi beban karena tidak adanya akal yang
menjadi alat memahami yang dibebankan. Juga orang yang lupa, tidur, dan mabuk
tidak dapat diberi beban.
Rasulullah
SAW bersabda : “diangkatlah pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal
perbuatan manusia) dari tiga orang, pertama dari orang yang tidur sampai ia
bangun, kedua dari kanak-kanak sampai dia dewasa dan ketiga dari orang gila
sampai dia berakal.”
Beliaupun
bersabda : “barangsiapa tidur sampai ia tertinggal melakukan shalat atau lupa
mengerjakannya, hendaklah dia mengerjakan shalat itu ketika ingat, sesungguhnya
ketika ingat itulah waktu shalat.”
Adapun
kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) atas anak-anak dan orang gila, bukan
berarti memberi beban kepadanya. Akan tetaping memberikan beban kepada walinya
agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila
itu, seperti membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya.
Adapun
firman Allah SWT. :
“hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.....” (An-Nisa : 43)g yan
Adapun
orang-orang yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak dapat memahami
dalil-dalil tuntutan syara’ dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti orang-orang
Jepang, India, Jawa dan sebagainya, menurut syara’ tidak sah diberi beban,
kecuali apabila mereka belajar bahasa arab dan dapat memahami nash-nash bahasa
arab atau dalil-dalil tuntutan ayara’ itu yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa mereka, atau ada sebuah kelompok yang mempelajari bahasa non-arab dan
menyebarluaskan diantara mereka. Teori yang ketiga inilah teori yang lurus
karena Rasulullah SAW dalam pidatonya pada haji wada’. Saya bersaksi kepada
Allah, bahwa beliau menyampaikan risalahnya dan memerintahkan umat Islam ”agar
orang yang hadir di antara mereka menyampaikan kepada yang tidak hadir “. Orang
yang hadir meliputi setiap orang mencari petunjukdan islam yang mengerti
hukum-hukumnya, sedangkan orang yang tidak hadir (ghaib) meliputi setiap orang
yang tidak mengerti bahasa Al-Qur’an dan tidak dapat memahami ayat-ayatnya.
Apabila dibiarkan orang yang tidak hadir ini, tetap pada keadaannya, tidak
mengerti bahasa Al-Qur’an dan tidak dapat memahami dalil-dalilnya, dan
ayat-ayatnya juga tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya dan tidak seorang yang
mengerti bahasa Al-Qur’an mau mengerjakan sesuatu yang dibebankan menurut
bahasa yang dapat dipahami oleh yang tidak hadir itu, orang yang tidak hadir
itu menurut syara’ tidak termasuk kena tuntutan (atau bukan mukallaf). Hal ini
karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.
Dan untuk ini Allah SWT berfirman dalam surat Ibrahim ayat 4 :
“dan
kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. “ (QS. Ibrahim : 4).
b.
Mukallaf adalah orang yang ahli dengan
sesuatu yang dibebani kepadanya. Pengertian ahli menurut bahasa ialah kelayakan
atau layak, (seperti bila) dikatakakn (fulan adlah ahli (layak) memelihara
wakaf, artinya ialah (layak baginya).
Sedangkan
menurut ulama ushul fiqih ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1.
Ahli
Wajib (Ahyatul Wujub)
Yaitu
kelyakan seseorang untuk memiliki hak-hak dan kewajiban. Asa keahlian
(kelayakan) ini adalah kekhususan yang wajib diciptakan oleh Allah SWT kepada
manusia dan menjadi kekhususanya diantara macam-macam binatang.dengan keahlian
itu, dia layak menerima hak dan kewajiban. Kekhususan inilah yang oleh fuqaha
(sarjana ahli hukum islam) disebut hukum Az-Zimah,
yaitu sifat naluri kemanusiaan yang dengan itu, manusia menerima ketetapan
hak-hak bagi orang lain dan menerima kewajiban untuk orang lain pula.
Keahlian
inilah (ahli wajib) yang tetap bagi setiap manusia,baik lelaki maupun
perempuan, baik janin (masih dalam kandungan) atau kanak-kanak, atau anak yang
sudah mumayyiz atau sudah baligh,
atau dewasa, atau safih (bodoh). Jadi, setiap manusia mana saja yang lepas dari
itu karena keahlian wajib itulah senagai sifat kemannusiaannya.
2.
Ahli
Melaksanakan (Ahyatul Ada)
Yaitu
kelyakan mukallaf untuk dianggap ucapan dan perbuatannya menuruut syara’.
Apabila keluar darinya akad (contract) atau
tasarruf (pengelolaan), menurut
syara’, akad atau tasarruf itu dapat diperhitungkan dan terjadi tertib hukum
atasnya. Apabila mukallaf mendirikan sholat, berpuasa, melaksanakan ibadah
haji, atau mengerjakan kewajiaban apa saja, semua itu menurut syara’ dapt
diperhitungkan dan dapt menggugurkan kewajiban mukallaf. Apabila mukallaaf
berbuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta, kehoramatan, dia dihukum
sesuai dengan pidananya dalam bentuk fisik dan harta. Ahli Ada itulah yang dimintai pertanggungjawaban, sedangkan asasnya
dalam manusia adalh membedakan akal.[2]
Meski demiakian
ada beerapa hal yang disebut awaridl samawiyah (halangan-halangan dari langit)
yaitu bukan dari manusia dan bukan pula dari kemmauannya dan awaridl muktasabah
yaitu yang terjadi dengan kemauan manusia baik dari dirinya maupun dai lainnya.
Awaridl
samawiyah (halangan-halangan dari langit) :
1.
Kegilaan, yaitu kerusakan dalam akal
yang mencegah berlangsungnya perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan
menurut jalannya dan dan ia bertentangan dengan syarat ibadah yaitu niat. Maka
tidak sah darinya dan tidak wajib atasnya menurut perinciannya. Kegilaan ini
meluas dan bisa juga tidak. Ini bisa datang dari luar bisa juga asli.
Apabila
berkepanjangan gugurlah kewajiban ibadah sehingga bebaslah tanggungjawabnya.
Bilamana tidak berkepanjangan dan dan ia datang secara insidensiil tidaklah ia
mencegah taklif, karena ia adalah halangan yang mencegah pemaahaman khitob dan hilang sebelum menjadi
berkepanjangan serta tidak menghilangkan asal kewajiban dengan tanggung jawab
sedang ia tetap ada padanya.
Bilamana
terdapat kewajiban yaitu tergantungnya tanggung jawab ia pun lazim dituntut,
akan tetapi ia gugur dalam kegilaan yang berkepanjangan, karena penunaiannya
tidak mungkin berhubung tidak ada syaratnya sedang kodlo telah disingkirkan.
Bilamana
tidak berkepanjangan sedang ia asli, maka hukumnya menurut Muhammad ialah hukum
mumtad (berkepanjangan) karena ia menggantungkan penggugurannya baik mumtad
maupun asli.
2.
Kurang akal, ialah kelemahan dalam akal
sehingga meracau omongannya, kadang-kadang menyerupai omongan orang berakal,
kadang-kadang menyerupai orang gila dan begitu pula urusan-urusannya yang lain.
Hukum
orang yang ma’tuh (kurang akal) sama dengan anak kecil dalam masa tamyiz dalam
seluruh urusannya.
3.
Kelupaan, yaitu ketiadaan mengingat
sesuatu di saat keperluan dan ia tidak menghilangkan ahliyah wujub maupun
ahliyah penunaian karena kesempurnaan akal.
Hukumnya
ialah bahwa hal itu bukanlah halangan dalam hak-hak manusia berlainan dengan
hak-hak Allah yang mengandung dua segi, yang pertama kemungkinan berdosa dan
yang kedua berlakunya hukum-hukum atas perbuatannya.
Adapaun
dari segi pertama, maka ia adalah udzur (halangan) berdasarkan sabda Rasulullah
SAW :
“dibebaskan
dari ummatku kekeliruan dan kelupaan.”
Adapun
dari segi kedua, maka perbuatannya berlaku hukumnya dengan dua syarat :
Adanya
orang yang mengingatkan orang lupa akan apa yang harus dilakukannya dan harus
ada alasan bagi perbuatan yang dilakukannya, seperti makannya orang yang
bersembahyang dan omongannya. Keduanya merusak sembahyang, karena keadaan orang
yang berenbahyang yang mengingatkan dia dengan shalatnya dan tak ada alasan
yang menyebabkan dia makan pada waktu itu.
Bilamana
kehilangan salah satu dari dua syarat tidaklah berlaku atas perbuatan itu
hukumnya seperti makannya orang yang berpuasa, karena tak ada yang mengingatkannya
sedang tabiatnya menghendaki makan dan seperti orang yang menyembelih dan lupa
membaca basmalah.
4.
Tidur, ia adalah halangan yang mencegah
pemahaman khitob, maka ia mewajibkan pengakhiran khitob untuk penunaian
kewajiban, akan tetapi ia tidak bertentangan dengan asal kewajiban karena
ketetapan pelaksanaannya akan tanggungjawab.
Oleh
karena ini wajib qodlonya dan mewajibkan batalnya semua ucapannya.
5.
Pingsan, ia adalah halangan yang
mencegah pemahaman khitob lebih banyak daripada pencegahan tidur terhadapnya,
maka berlakulah padanya apa yang berlaku dalam keadaan tidur dan karena ia
lebih banyak darinya, merekapun menjadikannya membatalkan wudlu dalam seluruh
keadaan bahkan dalam shalat.
6.
Penyakit, penyakit tidak bertentangan
dengan ahliyah hukum dan ibadah karena tak ada kekurangan dalam tanggungjawab,
akal dan ucapan oleh karena ia mengandung kelemahan disyari’atkanlah ibadah
disitu menurut kadar kemampuannnya.
7.
Haidl dan Nifas, keduanya tidak
menggugurkan ahliyah kewajiban maupun penunaian hanya saja ditetapkan bahwa
bersuci merupakan sarat dari keduanya bagi sahnya shalat dan puasa, maka tidak
mungkin menunaikan keduanya.
Tidaklah
berlaku qodlo sembahyang, karena ia mengandung kesempitan. Berlainan dengan
puasa dan karena adanya larangan berpuasa dalam keadaan haidl dan nifas,
tidaklah berlaku kewajiban penunaian atas keduanya. Sedangkan qodlo diwajibkan
karena terwujudnya sebab yaitu penyaksian bulan.
8.
Kematian, kematian menggugurkan
hukum-hukum duniawi taklifi seperti zakat, puasa dan haji serta lainnya dan
tinggallah dosa kewajiban yang disis-siakannya.
Awaridl
Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri) :
1.
Mabuk, ialah hilangnya akal karena
khamar atau yang menyerupainya hingga kacau omongannya dan mengigau.
Mabuk
menurut jalannya terbagi atas dua macam :
a.
Pertama yang jalannya tidak diharamkan
seperti mabuknya orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang timbul dari
obat-obatan. Ini hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya
dan pembebasan budaknya.
b.
Kedua yang jalannya diharamkan dan ini
tidak membatalkan taklif sehingga berlakulah hukum-hukum bagi pemabuk dan
ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan,
mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta dihutangi.
Hal itu
karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh
maksiat, maka tetaplah taklifnya dalam hak dosa dan kewajiban mengqodlo bagi
ibadah yang diqodlo secara syara’.
2.
As-safah, ialah keadaan manusia yang
mendorongnya berbuuat dalam hartanya berlawanan dengan kehendak akal tanpa
adanya kelainan pada akal. As-safah tidak menghilangkan sesuatu dari hukum
syari’at.
3.
Mereka yang menguatkan al-hajru
(pengekangan)
4.
Perjalanan (Safar), perjalanan tidaklah
menyalahi ahliyah hukum akan tetapi as-sar’i menjadikannya sebagai sebab
keringanan.
5.
Khoto’ (kekeliruan), ialah kekeliruan
yang terjadi bukan dengan maskud pelanggaran. Misalnya orang berpuasa yang
berkumur sehingga airnya masuk kerongkongannya dan penembak binatang buruan
yang mengenai manusia.
6.
Ikroh (paksaan), ialah menyuruh orang
lain berbuat sesuatu yang tidak disenanginya baik perkataan maupun perbuatan
sehingga andaikata ia dibiarkan niscaya tidaklah dilakukannya.
Ulama
Hanafi membagi ikroh menjadi dua bagian :
a.
Ikroh mulji, yaitu bila sebab yang mengharuskannya
berbuat membahayakan jiwa atau anggota tubuh dan besar kemungkinan terjadinya
atas pelakunya.
b.
Ikroh ghoerul mulji, yaitu bila sebab
yang menimbulkan ancaman adalah pukulan yang tidak menyebabkan kebinasaan
anggota tubuh atau penjara.
Imam Syafi’i
membagi ikroh menjadi dua bagian :
a.
Ikroh dengan hak
b.
Ikroh tanpa hak
Bilamana
ia adalah ikroh dengan hak tidaklah terputus hubungan perbuatan dari pelakunya,
maka sahlah penjualan orang berhutang yang mampu melunasi hutangnya atas
hartanya untuk pelunasan itu dan sah thalaq dari seorang hamba sahaya atas
istrinya sesudah berakhir masa mukatabah.
Bilamana
tanpa hak, maka ada dua macam :
Yang
pertama pelaksanaan untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan oleh syara’
dengan sebab paksaan itu. Ini hukumnya ialah terputusnya hubungan perbuatan
dengan pelakunya baik perkataan maupun perbuatan.
Yang
kedua adalah paksaan atas perbuatan yang tidak dibolehkan as-syar’i
melakukannya dengan ikroh seperti pembunuhan dan zina. Hal ini tidak terputus
nisbahnya dari pelakunya, maka dihukumlah dengan qishas karena melakukan
pembunuhan. Ikroh dengan penjara seumur hidup, pukulan yang menyakitkan, maupun
pembunuhan hukumnya sama menurut Syafi’i berlainan dengan pembinasaan harta dan
menghilanhkan kedudukan.
Search Engine Submission - AddMe