♠ Posted by IMM Tarbiyah in Kuliah Umum at 18.05
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Mula-mula manusia percaya bahwa
dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya.
Para filsof pra Socrates, yaitu filsof pertama dalam tradisi Barat, tidak
memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka memusatkan
perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka
kerap dijuluki filsof alam.
Mereka mengandaikan begitu saja
bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, meskipun beberapa diantara
menyarankan bahwa pengetahuan mengenai struktur kenyataan dapat lebih
dumunculkan dari sumber-sumber tertentu ketimbang sumber-sumber lainnya.
Herakleitus misalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Permanides
menekankan penggunaan akal. Meskipun demikian, tak seorangpun diantara mereka
yang meragukan kemungkinan adanya pengetahuan mengenai kenyataan (realitas).
Baru pada abad ke-5 SM, sikap
skeptis muncul dari kaum Shopis. Mereka meragukan kemampuan manusia dalam
mengetahui realitas. Mereka bertanya, seberapa jauh pengetahuan kita mengenai
kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif, seberapa jauh pula sumbangan
subjektif manusia? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai kodrat
sebagaimana adanya? Ini menjadi awal munculnya Epistemologi.
Kemudian muncullah metode empiris
oleh Aristoteles yang disambut oleh Francis Bacon pada masa Renaissance. Karena
filsafat Bacon bersifat praktis, ia pun mengkritik filsafat Yunani, yang
menurutnya lebih menekankan perenungan dan akibatnya tidak mempunyai praktis
bagi kehidupan manusia.
Menurutnya pengetahuan haruslah
dapat membantu manusia meraih kehidupan yang lebih baik. Menurutnya alam tidak
dapat dikuasai kecuali dengan jalan menaatinya, agar dapat taat pada alam,
manusia perlu mengenalnya lebih dulu, untuk itu diperlukan observasi,
pengukuran, penjelasan dan pembuktian.
Sementara bagi Descartes, persoalan
dalam filsafat pengetahuan bukan bagaimana kita tahu, tapi mengapa kita dapat
membuat kekeliruan? Untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat
diragukan adalah dengan melihat seberapa jauh hal itu dapat diragukan? Bila
kita secara [1]sistematis
mencoba meragukan sebanyak mungkin pengetahuan kita, kita akan mencapai titik
yang tak bisa diragukan sehingga pengetahuan kita dapat dibangun di atas
kepastian absolute.
Yang
disarankannya ialah keraguan metodis universal, keraguan yang direntang tanpa
batas, atau sampai keraguan ini membatasi diri. Artinya, usaha meragukan ini
akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan. Usaha ini disebut
metodik. Bagi dia kekelituan bukan terletak pada kegagalan melihat sesuatu,
melainkan di dalam mengira tahu apa yang tidak diketahuinya atau mengira tidak
tahu yang diketahuinya.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Epistemologi?
2.
Bagaimana pengetahuan itu terjadi?
3.
Metode apa yang digunakan dalam menentukan validitas pengetahuan?
4.
Bagaimana pandangan Filsuf Tentang Pengenalan?
BAB II
EPISTEMOLOGI
A.
Pengertian
Epistmologi
berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang
pengerahuan dan tata cara memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori
pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara memperoleh
pengetahuam, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan. Dengan kata lain,
epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau membahas tentang
tata-cara, teknik, atau perosuder mendapatkan ilmu dan keilmuan. Tata cara,
teknik atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan metode
non-ilmiah, metode ilmiah dan problem solving. Pengetahuan yang didapat
dengan metode non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan
secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common
sense); prasangka; otoritas (kewibaan); dan pengalaman biasa.
Metode ilmiah
adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif.
Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara
memecahkan permasalahan; merumuskan hipotesis; mengumpulkan data;
mengorganisasikan dan menganalisis data; menyimpulkan dan conclusion;
melakukan verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk
menemukan teori-teori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan
itu dapat dipakai sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk
menerangkan, mendiskripsikan, mengontrol, mengantisifasi atau meramalkan
sesuatu kejadian secara lebih tepat.
Menurut Keith
Lehrer secara historis terdapat tiga perspektif dalam epistemologi yang berkembang
di Barat, yaitu: (i) dogmatic epistemology; (ii) critical
epistemology; (iii) scientific epistemology.
Pertama, dogmatic
epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap epistemologi, terutama
Plato. Dalam persepektif epistemologi dogmatik, metaphysics (ontologi)
diasumsikan dulu ada, baru kemudian ditambahkan epistemologi. Setelah realitas
dasar diasumsikan ada, baru kemudian ditambahkan epistemologi untuk menjelaskan
bagaimana kita mengetahui realitas tersebut.
Kedua, critical
epistemology. Revolusi dari epistemologi dogmatik ke epistemologi kritis
diperkenalkan oleh Rene Descartes. Descartes membalik epistemologi dogmatik
dengan menanyakan apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya.
Pertanyakan dulu secara kritis, baru diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu ada,
kalau terbukti ada baru dijelaskan. Berpikir dulu, baru yakini atau tidak.
Ragukan dulu, baru yakini atau tidak. Descartes mengantut the immediacy
theses, bahwa apa yang kita ketahui adalah terbatas pada ide-ide yang
adalah jiwa kita (our own minds). Metode Descartes disebut juga metode
skeptis. Yakni, skeptis bahwa kita dapat mengetahui secara langsung objek di
luar diri kita tanpa melalui jiwa kita. Teori ini dikembangkan oleh David Hume
dengan teori primary qualities dan secondary qualities.
Ketiga, scientific
epistemology. Pertanyaan utama jenis epistemologi ini adalah: apa yang
benar-benar sudah kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya?
Epistemologi ini tidak peduli apakah batu di depan mata kita dan kita teliti secara
sainstifik.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang
justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Untuk menemukan kebenaran
dilakukan sebagai berikut (AR Lacey): (i) menemukan kebenaran dari masalah;
(ii) pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran; (iii) pengamatan dan
eksperimen untuk menemukan kebenaran; (iv) falsification atau
operasionalism (experimental operation, operation research); (v) induksi
dan persuposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta.[3]
B.
Terjadinya Pengetahuan
Pandangan yang
sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya
baik a priori maupun a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang
terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman baik pengalaman indera maupun
bathin. Sedangkan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya
pengalaman.
Di dalam
mengetahui memerlukan alat, yaitu: pengalaman indera, nalar, otoritas, intuisi,
wahyu, dan keyakinan. Menurut Baruch Spinoza pengetahuan didapatkan dari pengamatan.
Di dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa
yang objektif. Jika kesan-kesan subjektif dianggap sebagai kebenaran hal itu
mengakibatkan gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala
pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi. Gambaran-gambaran itu
kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan-tingkatan yang lebih
tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Di dalam
pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan tetapi di
dalam pengetauan intuitif orang memandang kepada idea-idea yang berkaitan
dengan Allah. Di sini orang dimasukkan ke dalam keharusan Ilahi yang kekal.
Sedangkan
menurut Thomas Hobbes pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman.
Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu
pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan akan kepastian.
Yang disebut pengalaman adalah
keselurhan atau totalitas segala pengamatan, yang disimpan di dalam ingatan dan
digabungkan dengan segala pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang
telah diamati pada masa lampau.
Pengamatan
inderawi terjadi karena gerak benda-benada luar kita meynyebabkan adanya suatu
gerak di dalam indera kita, gerak ini diteruskan ke otak dan dari otak
diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak
dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal
gerak reaksi tadi.
Sasaran yang
diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan
obyek-obyek, yang sesuai dengan penginderaan kita, bergerak menekan indera
kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar, bukan berada di dalam
obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi tidak memberi gambaran
tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan rasa senang dan tidak
senang dan segala gejala jiwani, bersandar semata-mata pada asosiasi
gambaran-gambaran murni bersifat mekanis.
Sementara itu
salah seorang tokoh empirisme yang lain berpendapat bahawa segala pengetahuan
datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada
waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri. Semula akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang
menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan
antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali. Satu-satunya sasaran atau
obyek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-idea yang timbulnya karena
pengalamana lahiriah (sensation) dan karena pengalaman bathiniyah (refletion).
Pengalaman lahiriyah mengajarkan kepada kita tentang hal-hal yang di luar kita,
sedangkan pengalaman bathiniyah mengajarkan tentang keadaan-keadaan psikis kita
sendiri. Kedua macam pengalaman ini jalin-menjalin. Pengalaman lahiriyah
melahirkan gejala-gejala psikis yang harus ditanggapi oleh pengalaman
bathiniyah. Obyek-obyek pengalaman lahiriyah itu mula-mula menjadi isi
pengalaman, karena dihisabkan oleh pengalaman bathiniyah, artinya obyek-obyek
itu lahir dalam kesadaran. Dengan demikian mengenal adalah identik dengan
mengenal secara sadar.
Locke
membedakan antara gagasan-gagasan tunggal (simple ideas) dan gagasan-gagasan
majemuk (complex ideas). Gagasan tunggal mendatangi kita langsung dari
pengalaman, tanpa pengolahan logis apapun, akan tetapi gagasan-gagasan majemuk
timbul dari pencampuran atau penggabungan gagasan-gagasan tunggal. Jika
beberapa gagasan secara teratur bersama-sama menampilakan diri, kita menanggapi
gagasan-gagasan itu sebagai termasuk satu hal yang sama, yang berdiri sendiri,
yang disebut substansi.
Menurut
Berkeley segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah
identik dengan gagasan yang diamati.
Pengamatan
bukan terjadi karena hubungan antara subyek yang mengamati dan obyek yang
diamati, melainkan karena hubungan antara indera yang satu dengan indera yang
lain. Umpamanya: pengamatan jarak atau ukuran luas antara subyek dan obyek yang
diamati. Pengamatan ini terjadi karena hubungan antara pengamatan penglihatan
dan pengamatan raba. Penglihatan tidak menceritakan berapa jauh jarak antara
yang mengamati dan yang diamati. Pengalaman dan kebiasaanlah yang menjadikan
saya menduga bahwa ada jarak, ada ukuran keluasan, atau ada ruang diantara yang
mengamati dan yang benda diamati.
Fichte
menjelaskan bahwa filsafat sebagai ajaran tentang ilmu pengetahuan dibedakan
antara:
a). Ajaran
tentang ilmu yang teoritis, dan
b). Ajaran tentang
ilmu yang praktis.
Di dalam bagian
yang teoritis dibicarakan hal metafisika dan ajaran tentang pengenalan, sedang
di dalam bagian praktis dibicarakan hal etika. Fichte tidak mau memisahkan
rasio teoritis daripada rasio praktis.
Menurut Fichte,
sumber yang satu itu terdapat pada aktivitas Ego atau “Aku”. Adapaun aktivitas
Ego itu dutemukannya dengan refleksi atau pemikiran kembali seperti yang
tersirat di dalam tiap pengetahuan, bagaimana pun sederhana atau formal
pengetahuan itu.
Dalam hal ini
Schelling menjelaskan, manusia memiliki kecakapan untuk berpikir, untuk
menyelidiki alam, serta mendapatkan pengetahuan tentang alam itu. Segala
penyelidikan ilmiah mengandaikan suatu gagasan, bahwa orang dengan akalnya
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Alam, sedang Alam dipaksa untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, hal itu berarti bahwa alam sesuai dengan
tuntutan roh atau akal. Hal ini hanya mungkin jika Alam juga bersifat akali
atau bersifat ideal. Kesimpulannya, Alam adalah roh yang tampak, sedang roh
adalah alam yang tak tampak. Alam adalah suatu sistem dinamis dan penuh tujuan
yang dipersatukan, yang berkembang naik ke atas hingga sampai ke puncak, dimana
ia kembali kepada dirinya sendiri dalam roh manusia dan melalui roh manusia
itu.
Ilmu pengetahauan
adalah suatu totalitas dimana segala bagiannya dihubungkan secara organis di
bawah satu syarat. Syarat yang asasi ini tidak dapat diturunkan dari ilmu
pengetahuan itu sendiri, tetapi syarat itu mendahului ilmu pengetahuan sebagai
sesutu yang tanpa syarat yang dengannya segala ilmu pengetahuan digariskan.
Syarat yang asasi ini terdapat di dalam “kesadaran diri”, atau di dalam “aku”,
tempat subyek dan obyek, roh dan alam, menjadi identik. Yang dimaksud “aku” di
sini bukan aku perorangan, melainkan “Aku Murlak”.
Menurut Auguste
Comte (faham Positivitsme), pengaturan ilmu pengetahuan harus disesuaikan
dengan pembagian kawasan fenomena yang dikaji ilmu yang bersangkutan.
C.
Teori Kebenaran dan Pandangan Para Filsuf
Pada umunya ada
beberapa teori kebenaran, yaitu: teori kebenaran saling berhubungan, terori
kebenaran saling berkesucian, teori inherensi.
Teori kebenaran
saling berhubungan (koherensi) artinya, sutu proposisi itu benar apabila hal
tersebut mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada atau
benar. Pembuktiannya dapat melalui fakta sejarah dan logika.
Teori kebenaran
saling berkesucian (korespondensi) artinya, suatu proposisi itu benar apabila
proposisi itu saling berkesucian dengan kenyataan atau realitas. Kebenaran
demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan.
Sedangkan teori
inherensi (progmatis) artinya, bahwa suatu proposisi memiliki nilai kebenaran
apabila memiliki akibat atau keonsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat,
maksudnya hal tersebut daspat dipergunakan.
Menurut Plato,
kebenaran yang utama adalah yang di luar dunia ini. Maksudnya suatu
kesempurnaan tidak dapat dicapai di dunia ini.
Sedangkan
menurut Aurelius Augustinus, pikiran dapat mencapai kebenaran dan kepastian.
Sekalipun berpikir pada dirinya ada batasnya, namun dengan berpikir orang dapat
mencapai kebenaran yang tiada batasnya, yang kekal abadi. Hasil pemikiran itu
diungkapkan dalam pertimbangan-pertimbangan yang bersifat abadi, yang perlu
mutlak dan tidak dapat diubah. Jika ada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
abadi, yang tidak terbatas, tidak berubah, tentu yang ada kenyataan yang kekal
abadi, yang perlu mutlak, yang tidak berubah yang mengatasi segala pikiran
manusia. Kenyataan ini sudah selayaknya bersifat rohani, bukan badani, serta
menjadi sumber segala hidup dan pikiran.
Rene Descartes
(faham Rasionalisme) menegaskan, bahwa yang harus dipandang benar adalah apa
yang jelas dan terpilah-pilah. Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu tidak
mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar kita. Apa yang kita duga kita
lihat dengan mata kita itu hanya dapat diketahui semata-mata dengan penilaian
kita, yang terdapat di dalam rasio atau akal. Pengetahuan melaui indera adalah
kabur.
Oleh karena
itu, kita harus meragukan apa yang kita amati dan keahui sehari-hari. Semuanya
itu harus dengan sadar kita pandang sebagai tidak pasti, yaitu :
a.
Sesuatu yang telah kita dapatkan di dalam kesadaran kita sendiri,
karena itu mungkin sekali adalah khasil khayalan kita atau hasil tipuan roh
jahat, dan
b.
Segala sesuatu yang telah kita pandang sebagai benar dan pasti,
misalnya: pendidikan yang telah kita dapatkan dari pendidikan dan pengajaran,
pengetahuan yang didapatkan dari penginderaan, pengetahuan tentang adanya
benda-benda dan adanya tubuh kita, pengetahuan tentang Allah, bahkan juga
pengetahuan tentang dalil-dalil ilmu hitung dan ilmu pasti yang paling
sederhana.
William James
(faham Progmalisme) mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas daripada akal
yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap
benar dalam perkembangan perngalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam
praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman yang
berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak yang ada adalah
kebenaran-kebenaran (jamak), yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman
khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
D.
Metode-Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu “metodos” yang terdiri
dari dua unsur : “meta” berarti cara, perjalanan sesudah; dan “hovos” berarti
cara, perjalanan, arah. Metode merupakan kajian atau telaah dan penyusunan
secara sistematik dari beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang sistematis
yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah; atau sebagai penyusunan
ilmu-ilmu.
Ada beberapa metode filsafat: metode kritis, metode intuitif,
metode skolastik, metode geometris, metode eksperimentil, metode kritis
tramkudental, metode dialektis dan metode gramatika bahasa. Metode-metode
tersebut tetap mengikuti hakikat umum sebagaimana terdapat dalam metode-metode
ilmiah umum.
a.
Metode-metode Ilmiah Umum
Metode-metode
umum kerap dikaitkan degan ilmu pengetahuan tertentu saja. Misalnya: metode rasional
dibaasi pada filsafat, meode sintesis menunjukkan metode filsafat tertentu,
metode deskriptif dibatasi pada ilmu natural dan sosial, metode induktif
dibatasi pada ilmu eksperimentil, metode deduktif dibatasi pada ilmu pasti,
metode introspeksi pada ilmu psikologi.
Tetapi
sebenarnya dapat disebutkan sejumlah unsur-unsur dan metode-metode yang berlaku bagi jalan
pengetahuan manusia pada umunya, jadi berlaku pula bagi semua ilmu pengetahuan
tanpa pengecualian.
Beberapa unsur dalam subyek :
- bertanya, bersikap
ragu-ragu; pada umunya sikap kritis; tdak apa-apa diterima begitu saja atau
dengan bebas dari penelitian.
- penerapan dan pemahaman
(rasional).
- intuisi (konkret) dan
abstraksi (konseptual).
- refleksi (introspeksi,
lebih subjektif), dan observasi, pengamatan, desperimen (ekstrospeksi, leboh
obyektif).
Beberapa unsur
metodis umum :
Titik pangkal (aksioma), definisi,
pembagian, hipotesis, contoh analogi, perbandingan, pembuktian, verifikasi.
Dua situasi ilmiah yang berbeda :
1. Metode penelitian (inventif) : jalan tertentu
untuk lebih mendasari atau untuk memperluas pengetahuan ilmuah
2. Metode pembicaraan (edukatif) : jalan tertentu
untuk mengajar dan mempelajari teori ilmiah yang sudah terbentuk.
Dua pendekatan
yang fundamental :
1. Metode historis-elektif-eliminati : dipelajari
aliran-aliran dan teori-teori pada bidang-bidang tertentu yang muncul sepanjang
sejarah, dengan membandingkan dan menganalisisnya dan disaring sampai
tinggallah teori yang dianggap paling memuaskan.
2. metode sistematis dalam dialog dengan aliran
dan teori lain, secara sistematis-metodis dibangun teori yang meliputi semua
segi dan soal pada bidang penelitian.
Dua pengarahan
penelitian yang fundamental :
1. Metode aposteriori (krisis); hal yang menjadi titik
tolah itu tergantung “adanya” dari yang dicari.
1.1. analisi/reduksi struktural
-
dari keseluruhan kompleks ke bagian yang sederhana.
-
dari fakta-fakta atau gejala hakikat atau syarat-syarat.
1.2. induksi :
-
dari yang singular ke yang universal
-
dari yang khusus atau berdetail ke yang umum.
1.3. regresi : dari akibat ke sebab :
-
retrospektif : dari “sekarang” ke “dahulu”.
-
dari penglihatan masa depan ke “sekarang”.
2. Metode apriori (spekulatif) : hal yang menjadi
titik tolak, menurut “adanya” mendahului hal yang dicari :
2.1. Sintesa/produksi struktral :
-
dari bagian yang sederhana ke keseluruhan kompleks
-
dari hakikat atau syarat-syarat ke fakta-fakta atau gejala.
2.2. Deduksi :
-
dari yang universal ke yang singular.
-
dari yang umum ke yang khusus atau mendetail.
2.3. Progresi dari sebab ke akibat :
Evolutif
: dari “dahulu” ke “sekarang”..
Prospektif
: dari “sekarang” ke “masa depan”.
Segala unsur
tersebut tidak dapat lepas satu sama lain. Mereka merupakan satu keutuhan yang
kait mengait dan saling menentukan sebagai bagian-bagian dalam satu struktur.
Unsur-unsur iru ditemukan dalam segala gaya berfikir dan pada segala taraf
pengetahuan. Mereka merupakan unsur-unsur hakiki dan satupun tidak dapat
ditinggalkan.
b.
Metode-metode Ilmiah Khusus
Masing-masing
ilmu pengetahuan mempunyai metode (dan logika) tersendiri. Diantaranya: metode
ilmu pasti, metode ilmu alam, metode sosiologi, metode filsafat, dan
sebagainya.
Dalam
semua metode ilmiah khusus ini dterapkan semua unsur metode umum, hanya saja
unsur-unsur itu mendapat arti dan sifat yang berbeda-beda sesuai dengan sifat
ilmu tertentu. Dan dalam hal ini, unsur-unsur tertentu mendapat tekanan dasn
kedudukan yang berbeda. Misalnya: induksi mendapat arti dan fungsi berbeda
dalam ilmu pasti, dalam ilmu alam, ilmu mendidik, atau dalam filsafat.
Menurut Francis Bacon hingga kini penemuan-penemuan
yang ada itu terjadi karena kebetulan saja. Maka mulai sekarang
penemuan-penemuan harus dilakukan karena tugas dan secara metodis. Agar supaya
tugas itu dapat dilaksanakan, diperlukan :
a). Bahwa alam diwawancarai.
a). Bahwa orang bekerja
menurut metode yang benar,
c). Bahwa orang bersikap
pasif terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, arinya: orang harus menghindarkan
diri dari mengemukakan prasangka terlebih dahulu, agar tercegah dari
gambaran-gambaran yang keliru. Metode yang benar ialah : mengamat-amati alam
semesta tanpa prasangka; seelah itu menetapkan fakta-fakta berdasarkan
percobaan-percobaan yang berkali-kali yang dilakukan dengan cara yang
bermacam-macam. Setelah itu diikhtisharkan. Artinya suatu hukum harus diuji,
yaitu diterapkan kepda keadaan-keadaan baru, jika hukun itu bekerja maka hukum
itu ditetapkan.
Metode empiris ini oleh
Bacon dipandang sebagai menunjukkan bagaiman caranya menyusun data-data yang
telah diamati, yang memang diperlukan sekali bagi ilmu pengethauan. Ilmu
pengetahuan harus dialaskan kepada penyusunan data-data.
Sementara itu Fichte
mengemukakan metode deduktif. Fichte mencoba mnurunkan dari Ego atau “Aku”,
adanya benda-benda. Karena Ego berfikir, berefleksi, meng-ia-kan diri, maka
benda-benda ada. Meng-ia-kan diri dan berada ini, jikalau diterapkan kepada
Ego, dipandang sebagai identik. Setetlah Ego meng-ia-kan diri, maka “bukan Ego”
dinyatakan. Jadi hukum berfikir dipandang sebagai sama dengan hukum alam.
Dengan secara Dialektis (berpikir menggunakan tesa, antitesa dan sintesa) ia
mencoba menjelaskan adanya benda-benda. Ia mengemukakan tiga dalil :
1.
Ego atau “Aku” meng-ia-kan dirinya sendiri, atau Ego meneguhkan
bahwa ia ada. Inilah tesanya. Akan tetapi pernuatan peneguhan adanya diri
sendiri ini baru mungkin jika Ego itu membedakan diri dari yang “bukan Ego”
atau obyek atau benda, yang membatasi Ego tadi.
2.
Ego meneguhkan adanya yang “bukan Ego”. Inilah antitesanya. Oleh
karena Ego sekarang benar-benar tidak lagi tunggal (karena ada “ego” yang dapat
dibagi-bagi dan “bukan Ego” yang dapat dibagi-bagi), maka
3.
Ego di dalam kesadarannya berhadapan muka dengan suatu dunia.
Perbedaan dan kesatuan telah memasuki pengalamannya. Inilah
sintesanya. Keduanya, Ego dan dunia bukanlah dualisme yang mutlak, sebab
keduanya dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu aktivitas atau perbuatan
Ego yang “menciptakan” itu. Demikianlah fakta dasar dalam alam semesta adalah
Ego yang bebas atau roh yang bebas. Dunia adalah suatu hasil ciptaan roh yang
bebas.
E.
Beberapa Metode Pengetahuan
1.
Metode Induktif
Yaitu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil
observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Ilmu-ilmu empiris
ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila
bertolah pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil
pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan universal.
Sedangkan menurut David Hume,
pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapapun besar jumlahnya,
secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka dipergunakan
hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa logam dipanasi, ia
mengembang, dari sini kita akan tahu bahwa logam lain bila dipanasi juga akan
mengembang. Pengetahuan yang dihasilkan disebut pengetahuan sintetik.
2.
Metode Deduktif
Ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiric diolah
lebih lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtut. Dalam metode ini harus
ada; perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri, penyelidikan
bentuk logis teori itu untuk mengetahui apakah teori itu mempunyai sifat
empiris atau ilmiah, perbandingan dengan teori-teori lain, dan pengujian teori
dengan menjalankan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa
ditarik dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan
kebenaran-kebenaran teori dari kpernyataan-pernyataan yang bersifat tunggal.
Tidak pernah ia menganggap bahwa berkat kesimpulan-kesimpulan yang telah
diverifikasikan, teori-teori dapat dikukuhkan sebagai benar atau bahkan hanya
mungkin benar, contoh: jika penawaran besar, harga akan turun. Karena penawaran
beras besar, maka harga beras akan turun.
3.
Metode Positivisme
Metode ini dikuluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan
di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu ia menolak metafisika. Apa yang
diketahui secaranpositif adalah segala yang tampak dan segala gejala.
Menurutnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga
tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang
berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.
Pada tahap metafisis, kekuatan yang adikodrati itu dubah menjadi
kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang
bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala.
4.
Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia
untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkanpun akan
berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan
intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan
cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan
yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Al-Ghazali
menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan oleh Allah
secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa
dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini
bisa dikomersilkan.
5.
Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektik mula-mula berarti metode tanya jawab
untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap llogika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dan dialektika di sini berarti mengompromikan hal-hal yang
berlawanan seperti:
-
Diktator. Di sini manusia diatur dengan baik, tapi mereka tidak
punya kebebasan (tesis).
-
Keadaan di atas menampilkan lawannya, yaitu negara anarki (anti
tesis) dan warga negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup dalam
kekacauan.
Tesis dan anti tesis ini disintesis, yaitu negara demokrasi. Dalam
bentuk ini kebebasan warga negara dibatasi oleh undang-undang dan hidup
masyarakat tidak kacau.[4]
F.
Paham-paham Pengetahuan dan Pengenalan
Pada garis besarnya ada beberapa
paham pengetahuan, antara lain : empirisme, idealisme, kritisisme, rasionalisme
dan realisme.
Empirisme
mengatakan bahwa pengetahuan mansuia berasal dari pengalamannya dari dunia luar
yang ditangkap panca inderanya. Menurut idealisme pengetahuan itu adalah
kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia
terletak di luar. Kritisisme berpendapat bahwa pengetahuan itu berasal dari
luar maupun dari jiwa manusia itu sendiri. Rasionalisme mengungkapkan bahwa
sumber pengetahuan itu adalah pikiran, rasio dan jiwa manusia. Sedangkan
menurut realisme, pengetahuan manusia merupakan gambar yang baik dam tepat
daripada kebenaran dan dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran
sebagaimana sesungguhnya ada.
G.
Pandangan Filsuf Tentang Pengenalan
Menurut Aristoteles ada dua macam
pengenalan : pengenalan rasional dan pengenalan inderawi.
Menurut Plato ada dua jenis
pengenalan, yeitu :
1.
Pengealan ide-ide. Pengenalan dalam arti yang sebenarnya (episteme,
pengetahuan. “knowledge”) . Pengenalan ini mempunyai sift-sifat yang sama
seperti obyek-obyek yang menjadi arah pengenalan itu : teguh, jelas dan tidak
berubah. Rasio adalah alat untuk mencapai pengenalan. Menurutnya ukuran dalam
bidang pengenalan adalah ide-ide, sehingga memungkinkan kebenaran yang mutlak.
2.
Pengenalan benda-benda jasmani. Pengenalan ini juga mempunyai
sifat-sifat yang sama seperti obyeknya : tidak tetap, selalu berubah.
Pengenalan ini tidak bernilai banyak, karena tidak menghasilkan kepastian.
Plato menamakannya doxa (pendapat. “opinion”). Pengenalan yang kedua ini
dicapai oleh panca indera.
Menurut Epicuros, pengenalan dapat diperoleh melaui pengantar.
Sesuatu yang benar adalah sesuatu yang dapat diamati oleh indera pada suatu
saat.
Sedangkan menurut aliran Pyrrho dan Elis (relativisme), pengamatan
memberikan pengetahuan yang bersifat relatif. Manusia sering keliru melihat dan
mendengar. Seandainya pengamatan manusia itu benar, kebenaran itu pasti hanya
berlaku bagi hal-hal yang lairiyah saja, bukan bagi hakikat-hakikat hal itu.
Menurut aliran ini, akal juga hanya memberi pengetahuan yang bersifat relatif.
Anggapan-anggapan manusia adalah relatif. Oleh karena itu setiap dalil dapat
sekaligus benar dan salah.
Seorang filsuf masa Patristik memeiliki pandangan yang teologis dan
filsafati. Augustinus (neopatonisme) mengemukakan bahwa pengenalan dimuali
dengan pengamatan inderawi, jiwalah yang mengamati. Akal memberi pertimbangan
terhadap perangsang-perangsang yang datang dari indera, dan mengaturnya sesuai
perbuatan manusia. Di dalam berbuat dengan berpikir itu manusia sadar akan
kebenaran-kebenaran yang kekal, yang perlu mutlak dan tidak berubah, yang pada
akhirnya memimpin tiap perbuatan itu.
Berbeda lagi dengan Thomas Aquinas, menurutnya kemampuan berpikir
dan mengenal terdiri dari akal dan kehendak. Akal mempunyai kemampuan yang
lebih tinggi dan lebih mulia serta lebih penting dari kehendak sebab kebenaran
lebih tinggi daripada kebaikan. Baginya jiwa bersifat pasif, baik dalam
pengenalan inderawi maupun dalam pengenalan akali. Daya penginderaan (tenaga
untuk melihat, mendengar dan lain-lain) ditentukan oleh benda-benda yang di
luar. Yang menjadi pelaku atau subyek dalam pengenalan adalah kesatuan jiwa dan
tubuh yang berdiri sendiri. Akal hanya seperti sehelai kertas yang belum
ditulisi, tidak memiliki ide-ide bawaan dan tidak menghasilkan sasaran
pengenalan melaiankan hanya menerima sasaran pengenalan dari luar. Akal
seluruhnya bergantung kepada indera. Pengenalan berpangkal dari pengalaman.
Sasaran akal adalah hakikat benda-benda berjasad. Indera memberikan
gambaran-gambaran dari sasaran yang diamati. Gambaran-gambaran itu mempunyai
hakikat, dengan abstraksi jiwa menarik hakikat benda-benda itu, kemudian diubah
menjadi sesuatu yang dapat dikenal. Pengetahuan terjadi, jika akal telah
memungut bentuk itu dan mengungkapkannya. Jadi di dalam pengenalan akal
bergantung kepada benda-benda yang diamati indera.
Kemudian muncul sintesa baru Yohanes Duna Scotus bahwa
pengalaman-pengalaman yang diperoleh melaui pengamatan indera adalah penting.
Memang akal adalah kekuatan guna mengenal dan bagian terpenting dalam hidup
kejiwaan, akan tetapi akal tidak dapat mengarahkan kepada benda-benda konkret,
melainkan kepada “yang ada” sebagai “yang ada” atau kepada dirinya sendirinya.
Di dalam hidup ini jiwa terikat kepada tubuh, maka akal dalam hidup
sehari-sehari terika kepada pengamatan indera. Yang kemudian di abstraksikan
oleh akal.
Rene Descartes (tohoh Rasionalisme) mengemukakan bahwa pengamatan
dengan indera tidak memberi keterangan
kepada kita tentang sifat-sifat dunia di luar kita. Melainkan hanya
membeli nilai praktis. Ide-ide yang diberika benda-benda hanya samar-samar.
Hanya pemikiran yang jelas dan terpilah-pilah yang dapat mengajar kita secara
sempurna tentang hakikat sesuatu dan sifat-sifatnya. Yang diketahui pikiran
secara langsung tanpa perantaraan adalah dirinya semata-semata. Barang-barang
di luarnya hanya dikenal secara tidak langsung, dengan perantaraan.
Pengertian-pengertian atau ide-ide itu semula dikenal dalam realitasnya
sendiri, kemudian menampakkan diri sebagai cerminan obyek-obyek atau
saran-saran di luar kita. Oleh sebab itu ide-ide itu juga menjadi alat un tuk
mengenal hal-hal di luar pikiran. Pengertian yang jelas dan terpilah-pilah tadi
ternyata benar-benar sesuai dengan apa yang digambarkan.[5]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Epistemologi
adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan tata cara memperolehnya.
Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuam, hakikat pengetahuan dan
sumber pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat
yang menyoroti atau membahas tentang tata-cara, teknik, atau perosuder
mendapatkan ilmu dan keilmuan.
Di dalam
mengetahui memerlukan alat, yaitu: pengalaman indera, nalar, otoritas, intuisi,
wahyu, dan keyakinan. Selain itu, juga diperlukan metode-metode tertentu untuk
mendapat pengetahuan.
Ada beberapa teori kebenaran, yaitu: teori kebenaran saling
berhubungan, terori kebenaran saling berkesucian, teori inherensi.
Teori kebenaran saling berhubungan (koherensi) artinya, sutu
proposisi itu benar apabila hal tersebut mempunyai hubungan dengan ide-ide dari
proposisi yang telah ada atau benar. Pembuktiannya dapat melalui fakta sejarah
dan logika.
Teori kebenaran saling berkesucian (korespondensi) artinya, suatu
proposisi itu benar apabila proposisi itu saling berkesucian dengan kenyataan
atau realitas. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia
kenyataan.
Sedangkan teori inherensi (progmatis) artinya, bahwa suatu
proposisi memiliki nilai kebenaran apabila memiliki akibat atau
keonsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat, maksudnya hal tersebut daspat
dipergunakan.
B.
Kritik dan Saran
1.
Hendaknya kajian epistemologi ini lebih ditekankan lagi agar tidak
terjadi kesalahan berpikir dalam mengkaji suatu ilmu.
2.
Janganlah diperdebatkan perbedaan pendapat yang ada dalam
epistemologi, karena sejatinya satu sama lain saling melengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.
Mohammad Adib, MA FILSAFAT ILMU: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan
Logika Ilmu Pengetahuan.Yogyakarta: 2010 Pustaka Pelajar.
Drs.
Suharsono, S.H., M.Si. ILMU
FILSAFAT-Suatu Pengantar PT. RINEKA CIPTA
Jakarta : 2001
Prof.
Dr. Amsal Bakhtiar, M.A Filsafat Ilmu PT. Raja Grafinda, Jakarta: 2011