♠ Posted by IMM Tarbiyah in Kuliah Agama at 07.49
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perbedaan
adalah suatu keniscayaan, namun terkadang karena kurangnya pengetahuan
perbedaan menjadi mengarah pada pembedaan. Perbedaan dalam hal keilmuan,
terutama di dunia Islam tentunya terjadi selain karena; 1). Latar belakang
budaya dan pendidikan, 2). Sudut pandang berpikir, juga disebabkan oleh 3).
Metode yang digunakan dalam menghasilkan ilmu itu sendiri. Ada beberapa metode
epistemologi Islam, antara lain; 1). Burhani, 2). Bayani, dan 3). Irfani.
Irfani
telah menjadi cikal-bakal dari munculnya aliran tasawwuf dalam ummat Islam.
Dimana mereka percaya bahwa mereka mampu menghasilkan ilmu pengetahuan yang
tertinggi dengan melakukan perjalanan ruhani (pelatihan jiwa), Allah akan
menyinari dan mengisi jiwanya dengan pengetahuan yang luas tak terbatas dan
benar. Untuk kemudian diungkapkan kepada manusia agar dapat dirasakan
manfaatnya oleh ummat.
Pada
masa sekarang, metode irfani banyak digunakan dalam bentuk thariqah-thariqah
yang tersebar hampir di seluruh Negara berpenduduk muslim. Thariqah hampir saja
menjadi sebuah kewajiban bagi setiap muslim, bahkan ada yang mengklaim bahwa
beragama Islam itu haruslah menjalankan tiga unsure, yakni; 1). Syari’at, 2).
Thariqat dan 3). Hakikat. Apabila salah satunya tiada, maka tak sempurna
keberagamaan seseorang.
Namun,
sungguh menjadi ironi. Ketika irfani yang pada awal kelahirannya adalah
merupakan salah satu metode filsafat dalam menghasilkan pengetahuan hingga
kemudian banyak menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang begitu besar
sumbangsihnya terhadap ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Kini hanya sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik dan lebih ditekankan kepada
kejiwaan. Serta terkesan mengabaikan kehidupan dunia yang seharusnya menjadi
titik utama kemanusiaan sebagaimana manusia itu diciptakan sebagai khalifatullah di bumi.[1]
Namun
di sisi lain irfani ini sangat berguna sekali untuk kejiwaan manusia dalam
menjalani kehidupan. Terbukti dengan lahirnya ilmu-ilmu dan cara-cara
pengobatan yang menekankan kepada kejiwaan dan ini merupakan terobosan baru
ilmu pengetahuan. Misalkan, Psikoterapy dan ilmu sejenisnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
irfani itu ?
2.
Darimanakah
asalm mula irfani ?
3.
Bagaimana
perkemebangannya?
4.
Bagaimana
cara menghasilkannya ? dan,
5.
Bagaimana
mengungkapkan pengetahuan yang dihasilkan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa ‘Arab
‘arafa semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan
‘ilmu. ‘irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara
langsung lewat pengalaman, sedang ilmu menunjuk kepada pengetahuan yang
diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (‘aql). Karena itu secara
terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah
adanya olah rohani (riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran
didik irfani adalah aspek esoterik syari’at, apa yang ada dibalik teks.
B. Asal Mula Irfani
Para ahli berebeda
pendapat tentang asal sumber irfan.
Pertama, menganggap
bahwa irfan Islam berasal dari Persia dan Majusi (Dozy dan Thoulk). Alasannya,
sebagian besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka
setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari Khurasan. Selain
itu, sebagian para pendiri aliran-aliran sufi berasal dari kelolpok Majusi,
seperti Ma’ruf al-Kharki dan Bayazid Bustami.
Kedua, irfan berasal
dari Kristen (Von Kramer, Ignaz Gholziher, Nicholson, Asin Palacios dan O’lory).
Alasannya, 1). Adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada
masa Jahiliyah maupun zaman Islam. 2). Adanya kesamaan antara kehidupan para
Sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyadlah) dan mengasingkan
diri (khalwat), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga denga para rahib
dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
Ketiga, irfan ditimba
dari India (Horten dan Hartman). Alasannya, 1). Kemunculan dan penyebaran irfan
(tasawuf) pertama kali adalah Khurasan, 2). Kebanyakan sufi angkatan pertama
bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham, Syaqiq al-Bhalkh dan Yahya
ibn Mu’adz. 3). Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan
kebudayan Timur serta Barat. Memberi warna mistisisme lama ketika memeluk
Islam. 4). Konsep dan metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih
adalah praktek-praktek dari India.
Keempat, irfan berasal
dari Yunani, khususnya neo-Platonisme dan Hermes (O’lery dan Nicholson).
Alasannya, Theology Aristoteles yang merupakan paduan antara sistem Porphiry
dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam. Kenyataannya, Dzun
al-Mishri, seorang sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains
hellenistik. Menurut Jabiri, irfan diadopsi dari ajaran Hermes, sedang
pengambilan teks-teks al-Qur’an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai
contoh, istilah maqamat yang secara lafdzi dan maknanwi diambil dari al-Qur’an
(al-Fussilat: 164), identik dengan konsep tentang Mi’raj, yakni kenaikan jiwa
manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada
kata maqamat dalam al-Qur’an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang
pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam
arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri.
Namun pada dasarnya,
irfan berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya kemudian
dipengaruhi oleh faktor lain, Yunani, Kristen, Hindu atau yang lain.
C. Perkembangan
Irfani
Secara umum,
perkembangan irfan dapat dibagi dalam lima fase. Pertama, fase pembibitan. Pada
masa ini irfan masih berbentuk prilaku zuhud (asketisme). Karakter asketisme
periode ini adalah, 1). Berdasarkan ajaran al-Qur’an dan sunnah, yakni menjauhi
hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka. 2). Bersifat
praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang
dilakukan. 3). Motivasi zuhudnya adalah rasa takut yang mncul dari landasan
amal keagamaan secara sungguh-sungguh.
Kedua, masa kelahiran,
terjadi pada abad kedua hijrah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufi mulai
berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis.
Laku asketisme juga berubah, jika awalnya dilandaskan pada rasa takut dan
mengharap pahala, dalam periode ini di tangan Rabi’ah ‘Adawiyah, zuhud
dilakukan atas dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan
mendapat pahala.
Ketiga, fase
pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijrah. Sejak awal abad ke-3 H, para tokoh sufi
mulai menaruh perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah
laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagmaan (akhlaq). Pembahasan ini
lebih lanjut mendorong mereka untuk membahas soal pengetahuan intuitif berikut
sarana dan metodenya, tentang Dzat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau
hubungan manusia dengan-Nya, yang kemudian disusul perbincangan tentang fana
(ectasy), khususnya Abu Yazid Bustami dan hulul (imanensi Tuhan dalam diri
manusia) oleh al-Hallaj.
Bersamaan itu, sejumlah
tokoh sufisme seperti Sirri al-Saqathi, Abu Sais al-Kharraz dan Junaid
al-Baghdadi, juga mempunyai banyak murid. Inilah cikal bakal bagi terbentuknya
tarikat-tarikat sufi dalam Islam, dimana sang murid menempuh pelajaran dasarnya
secara formal dalam sutu majlis. Dalam tarikat ini, sang murid mempelajari
tatatertib irfan, teori maupun praktiknya. Namun demikian, kecenderungan umum
fase ini masih pada psiko-moral belum pada tingkat metafisis. Ide-ide metafisis
yang ada belum terungkap secara jelas.
Keempat, fase puncak,
terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa ini irfan mencapai masa gemilang. Banyak
pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan. Seperti; Abu Khair, Ibnu
Utsman al-Hujwiri dan Abdullah al-Anshari. Puncaknya al-Ghazali menulis Ihya
‘Ulum ad-Din yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan bayani). Di tangan
al-Ghazali ini, irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai
pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
Kelima, fase spesifikasi,
terjadi abad ke-6 & 7 H. Berkat
pengaruh al-Ghazali yang besar, irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang
dalam masyarakat Islam. Ini memberi peluang bagi tokoh sufis untuk
mengembangkan tarikat dalam rangkan mendidik murid mereka, seperti yang
dilakukan A. Rifai, Abd al-Qadir al-Jailani, Abu al-Syadlili, Abu Abbas
al-Mursi dan Ibn Athaillah al-Iskandari. Namun bersamaan dengan itu, muncul
pula tokoh-tokoh yang berusaha memadukan irfan dengan filsafat, khususnya
neo-Platonisme, seperti yang dilakukan Suhrawardi, Ibn Arabi, Umar ibn Faridl
dan Ibn Sab’in al-Musri. Mereka banyak memiliki teori mendalam tentang jiwa,
moral, pengetahuan, wujud dan lainnya yang sangat bernilai bagi kajian irfan
dan filsafat berikutnya.
Dengan demikian, irfan telah
terbagi pada dua aliran. 1). Irfan sunni yang cenderung pada prilaku praktis
(etika) dalam bentuk tarikat-tarikat, 2). Irfan teoritis yang didominasi
pemikiran filsafat. Aljabiri menambahi dengan adanya aliran kebatinan yang
didominasi aspek mistik. Meski demikian menurut Muthahhari, irfan praktis tetap
tidak sama dengan etika dan irfan teoritis berbeda dengan filsafat.
Keenam, fase
kemunduran, terjadi sejak ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami
perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Para tokohnya lebih
cenderung kepada pemberian komentar dan ikhtisar atas karya-karya terdahulu,
atau lebih menekankan bentuk ritus dan formalisme, yang terkadang mendorong
mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri. Para pengikut memang semakin
bertambah, tetapi di sana tidak muncul pribadi unggul yang mencapai kedudukan
ruhaniyah cukup terhormat seperti para pendahulunya.[2]
D. Metode
Irfani
Etika
|
Irfan
|
Filsafat
|
|
Praktis
|
Teoritis
|
||
Membahas
hubungan antara manusia saja.
Tidak
ada tahapan tertentu. Seseorang bisa memilih mana yang harus dilakukan.
Unsur
spiritual sangat terbatas
|
Membahas
hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Ada
tahapan-tahapan yang harus dilalui lebih dulu untuk menuju tujuan akhir.
Unsur
spiritual yang sangat luas.
|
Berdasarkan
visi dan intuisi kemudian dikemukakan teori secara logis.
Eksistensi
Tuhan meliputi semuanya dan segala sesuatu adalah manifestasi sifat-Nya.
Capaian
manusia tertinggi adalah kembali kepada asal-usulnya (Tuhan).
Sarana
yang dipakai adalah kalbu (hati) dan kesucian jiiwa.
|
Berpijak
pada postulat-postulat.
Eksistensi
non-Tuhan sama rielnya dengan eksistensi Tuhan sendiri.
Capaian
tertinggi manusia adalah memahami semesta.
Sarana
yang dipakai adalah akal dan intelek.
|
Pengetahuan irfan tidak didasarkan
atas teks seperti bayani, juga tidak atas rasio seperti burhani, tetapi pada
kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung ketika olah ruhani dilakukan dan mencapai kesucian
hati. Kemudian dikonsep atau masuk ke dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada
orang lain. Menurut Suhrawardi, secara metodologis, pengetahuan tuhani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, 1). Persiapan, 2). Penerimaan, 3).
Pengungkapan baik dengan lisan maupun tulisan.
Pertama, persiapan. Seseorang yang
biasanya disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan
jenjang-jenjang kehidupan spiritual.[3] Suluk adalah perjalanan ruhani seoranh hamba untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui berbagai latihan kejiwaan dengan
dipandu oleh seorang guru suluk.[4]
Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani. 1). Taubat, meninggalkan
segala perbuatan kurang baik disertai penyesalan yang mendalam untuk kemudian
menggantinya dengan perbuatan-perbuatan baru yang terpuji. Taubat sendiri
terdiri atas beberapa tingkatan. Pertama, taubat dari perbuatan-perbuatan dosa
dan makanan haram, kemudian taubat dari ghaflah (lalai mengingat Allah), dan
pada puncaknya taubat dari klaim bahwa dirinya telah melakukan taubat. Jika
seseorang tidak berhasil membersihkan dirinya pada tahapan ini, ia akan sulit
untuk naik pada jenjang berikutnya (al-Qusyairi).
2).
Wara, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya (subhat).
Dalam tasawuf, wara ada dua tingkatan, lahir bathin. Wara lahir berarti tidak
melakukan sesuatu kecuali beribadah kepada Tuhan, sedang wara bathin adalah
tidak memasukkan sesuatupun dalam hati kecuali Tuhan. 3). Zuhud, tidak tamak
dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. Zuhud bukan berarti meninggalkan harta
sama sekali. Menurut al-Syibli, seseorang tidak dianggap zuhud jika itu terjadi
lantaran ia memang tidak mempunyai harta. Zuhud berarti bahwa hati tidak
tersibukkan oleh sesuatu apa pun kecuali Tuhan. Semuanya tidak berarti di
hatinya dan tidak memberi pengaruh dalam hubungannya dengan Tuhan.
4).
Faqir, mengosongkan pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa yang
akan datang, dan tidak menghendaki sesuatu apa pun kecuali Allah SWT, sehingga
ia tidak terikat dengan sesuatu apa pun dan hati tidak menginginkan sesuatu apa
pun. Tingkat faqir merupakan realisasi dari upaya pensucian hati secara
keseluruhan dari segala yang selain Allah. 5). Sabar, yakni menerima segala
bencana dengan laku sopan dan rela.
6).
Tawakkal, percaya atas segala yang ditentukan Tuhan. Tahap awalnya adalah
menyerahkan diri pada Tuhan laksana mayat di hadapan orang yang memandikannya.
Menurut al-Qusyairi, ini bukan berarti fatalisme (jabariyah), karena tawakkal
adalah kondisi dalam hati dan itu tidak menghalangi seseorang utnuk bekerja mencari
nafkah demi kelangsungan hidupnya. Begitu juga, apa yang dikerjakan tidak
menafikan tawakkal dalam hatinya, sehingga jika mengalami kesulitan ia akan
menyadari bahawa itu berarti taqdir-Nya dan jika berhasil berarti atas
kemudahan-Nya. 7). Ridla, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga
yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah
mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseirang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif atau neotic. Pada tahapan
ini, seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran yang demikian mutlak (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri
(musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan
realitas yang disadari tersebut-karena bukan objek eksternal-keduanya bukan
sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang
diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula
sebaliknya (ittihad). Sedemikian rupa, sehingga dalam perspektif epistemologis,
pengetahuan irfani tidak diperoleh melalui representasi atau data-data indera
apapun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan
gagasan umum pengetahuan ini. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui
univikasi eksistensial yang oleh Mehdi Yazdi disebut “ilmu huduri” atau pengetahuan
swaobjek, atau jika dalam teori permainan bahasa Wittgensteian, pengetahuan
irfani ini tidak lain adalah bahasa “wujud” itu sendiri.
Ketiga,
pengungkapan. Pada tahap puncak ini, mistik diinterpretasikan dan diungkapkan
kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani
bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan
simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga
tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan. Para pengkaji irfan membagi
pengetahuan ini dalam beberapa tingkat :
a). Pengetahuan tak terkatakan
b). Pengetahuan irfan atau
mistisisme,
c). Pengetahuan metafisisme yang terbagi dalam dua bagian;
1. oleh
orang ketiga tetapi masih dalam satu tradisi dengan yang bebrsangkutan (orang
Islam menjelaskan pengalaman mistik orang lain).
2. oleh
orang ketiga dari tradisi yang berbeda (orang Islam menjelaskan pengalaman
mistik dari tokoh mistik non muslim).
E. Zahir dan Bathin
Sesuai
dengan sasaran irfan yang esoterik, isu sentral irfan adalah zahir dan bathin,
bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhasabi,
al-Ghazali, Ibn Arabi, juga para sufis lain, teks keagamaan (al-Qur’an dan
Hadits) tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang
tersirat (bathin). Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek
bathinnya adalah takwilnya.
Pendapat
zahir-bathin ini didasarkan, pertama, al-Qur’an; QS. Lukman:20, al-An’am:120
dan al-Hadid:3 yang sekaligus digunakan sebagai dasar pijakan metafisisnya.
Kedua, hadits Rasul “tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur’an kecuali di sana
mengandung aspek zahir dan bathin, dan setiap huruf mempunyai had (batas) dan
matla’ (tempat terbit). Ketiga, pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib: “al-Qur’an
mempunyai empat dimensi, zahir, bathin, had dan mathla’. Aspek zahirnya adalah
tilawah, aspek bathinnya adalah pemahaman, aspek hadnya adalah ketentuan halal
dan haram, dan mathla’nya adalah apa yang dikehendaki Tuhan atas hamba-Nya.
Ada beberapa cara mengungkap makna
atau dimensi bathin yang diperoleh dari kasyf, diantaranya: pertama,
diungkapkan dengan cara i’tibar atau qiyas irfani. Yakni analogi makna bathin
yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Qiyas irfani
ini berusaha menyesuaikan konsep yang telah ada atau pengetahuan yang diperoleh
lewat kasyf dengan teks, seperti kata al-Ghazali, zahir teks dijadikan furu
(cabang) sedang konsep atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok). Karena itu
qiyas irfani tidak memerlukan illat atau pertalian antara lafadz dan makna,
tetapi hanya berpedoman pada isyarat (petunjuk bathin).
Kedua,
pengetahuan kasyf diungkapkan lewat apa yang disebut syathahat. Namun berbeda
dengan qiyas irfani yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks,
syathahat ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Syathahat
lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan
pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti
ungkapan “Maha Besar Aku” dari Abu Yazid Bustami atau “Ana al-Haqq (Aku adalah
Tuhan) dari al-Hallaj. Ungkapan-ungkapan seperti itu, keluar saat mengalami
suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai
dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga sering dihujat
dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang baku.
E. Nubuwah
dan Walayah
Nubuwah
adalah padanan dari konsep zahir sedang walayah pasangan dari bathin. Keduanya
berkaitan dengan otoritas religius yang diberikan Tuhan atas diri seseorang.
Bedanya, kenabian ditandai dengan wahyu dan mukjizat yang diperoleh dengan
tanpa usaha, sedang kewalian ditandai dengan karamah serta irfan, dan diperoleh
lewat usaha. Ibnu Arabi menyebutnya dengan konsep “kenabian umum” dan “kenabian
khusus”. Kenabian umum adalah kewalian yang berhubungan dengan ilham, makrifat
atau irfan, sedang kenabian khusus adalah nabi yang dibekali syari’at dan
ketentuan hukum-hukum formal.
Kedua
posisi tersebut mempunyai derajat yang berbeda. Kenabian lebih tinggi dibanding
kewalian, dimana puncak kewalian adalah awal kenabian. Pengalaman mukasyafat
(kasyf) yang bisa dialami pada permulaan kenabian adalah puncak perjalanan
spiritual kewalian.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Irfan
dari kata dasar bahasa ‘Arab ‘arafa semakna dengan makrifat, berarti
pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ‘ilmu. ‘irfan atau makrifat berkaitan
dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedang ilmu
menunjuk kepada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau
rasionalitas (‘aql). Karena itu secara terminologis, irfan bisa diartikan
sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat
oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah rohani (riyadlah) yang
dilakukan atas dasar cinta (love). Sasaran didik irfani adalah aspek esoterik
syari’at, apa yang ada dibalik teks.
Pada
dasarnya, irfan berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam perkembangannya
kemudian dipengaruhi oleh faktor lain, Yunani, Kristen, Hindu atau yang lain.
Perkembangan irfan dapat
dibagi dalam lima fase. Pertama, fase pembibitan. Kedua, masa kelahiran,
terjadi pada abad kedua hijrah. Pada masa ini, beberapa tokoh sufi mulai
berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya tentang irfan juga mulai ditulis. Ketiga,
fase pertumbuhan, abad 3-4
H. Pada masa inilah cikal bakal bagi terbentuknya
tarikat-tarikat sufi dalam Islam, dimana sang murid menempuh pelajaran dasarnya
secara formal dalam sutu majlis.
Keempat,
fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada masa ini irfan mencapai masa
gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang irfan. Kelima,
fase spesifikasi, terjadi abad ke-6 & 7
H. Berkat pengaruh al-Ghazali yang besar, irfan menjadi semakin dikenal
dan berkembang dalam masyarakat Islam. Bersamaan dengan itu, muncul pula
tokoh-tokoh yang berusaha memadukan irfan dengan filsafat. Dengan demikian, irfan
telah terbagi pada dua aliran. 1). Irfan sunni yang cenderung pada prilaku
praktis (etika) dalam bentuk tarikat-tarikat, 2). Irfan teoritis yang
didominasi pemikiran filsafat. Aljabiri menambahi dengan adanya aliran
kebatinan yang didominasi aspek mistik.
Keenam,
fase kemunduran, terjadi sejak ke-8 H. Sejak abad itu, irfan tidak mengalami
perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran. Para tokohnya lebih
cenderung kepada pemberian komentar dan ikhtisar atas karya-karya terdahulu,
atau lebih menekankan bentuk ritus dan formalisme, yang terkadang mendorong
mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.
Menurut
Suhrawardi, secara metodologis, pengetahuan tuhani setidaknya diperoleh melalui
tiga tahapan, 1). Persiapan, 2). Penerimaan, 3). Pengungkapan baik dengan lisan
maupun tulisan.
B.
Kritik
dan Saran
1.
Irfani
kurang peduli terhadap pengetahuan umum, sehingga ketertinggalan ummat Islam
semakin jauh dibandingkan agama lain.
2.
Dengan
irfani yang sekarang, kaum muslim cenderung acuh pada keduniaan, sehingga tak
ada keinginan untuk mengembangkan pengetahuan. Hanya memimpikan kebahagiaan
akhirat.
3.
Hendaknya
irfan sekarang juga ditambahi pengembangan ilmu pengetahuan umum.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Khudori Soleh, M.Ag. Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta: 2004
Miftachul Luthfi Muhammad. Tasawwuf Implementatif. Duta Ikhwana Ma’had TeeBee. Surabaya: 2004.
DAFTAR BACAAN
Dr. Yusuf Qardhawi. Merasakan Kehadiran Tuhan. Mitra Pustaka. Yogyakarta: 2007
Miftachul Luthfi Muhammad. Tasawwuf Implementatif. Duta Ikhwana Ma’had TeeBee. Surabaya: 2004.
[1] Diserap secara bebas dari buku; Merasakan Kehadiran Tuhan (Dr. Yusuf
Qardhawi), dan Tashawwuf Implemntatif (Miftahul
Luthfi Muhammad).
[2] A. Khudori Soleh, M.Ag. Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta:2004 hlm. 194-
[4] Miftachul Luthfi Muhammad. Tasawwuf Implementatif. Duta Ikhwana
Ma’had TeeBee. Surabaya: 2004. Hlm. 24
[5] A. Khudori Soleh, M.Ag. Wacana Baru Filsafat Islam. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta:2004 hlm. 194-213