ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU KALAM

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 09.43

KHAWARIJ

Khawarij berasal dari bahasa Arab artinya keluar. Dalam hal ini Khowrij yang dimaksud adalah suatu kelompok atau aliran pengikut Ali bin Abi Tholib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase ( tahkim ) dalam perang siffin.
Bagi mereka, Amr Ibn al-‘As dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang berbuat dosa besar. Berbuat zina dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut paham golongan ini orang yang mengerjakan zina telah menjadi kafir dan keluar dari Islam.Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar. Maka perbuatan membunuh manusia menjadikan si pembunuh keluar dari Islam dan menjadi kafir. Selanjutnya yang dipandang musyrik adalah semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.


MURJI’AH

Nama Murji’ah berasal dari bahasa Arab yang artinya penangguhan atau pengharapan, yakni memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Dalam ilmu kalam, Murji’ah adalah kelompok atau aliran orang-orang yang menunda penjelasan kedudukan seseoarang yang bersengeta, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing.
Ketika terjadi perseteruan antara Ali dan muawiyah, dilakukanlah tahkim atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok ali terpecah menjadi dua, yakni yang pro dan kontra. Kelompok yang kontra itu yang ahirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khowarij. Menurut mereka tahkim itu adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah Dia akan mengampununiya apa tidak ?
Doktrin teologi Murji’ah, menurut W. Montgomry :
  1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di Akherat kelak.
  2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking ke empat dalam peringkat Al-Khurafaul Rasyidin.
  3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah.
  4. Meletakan ( pentingnya ) iman dari pada amal.
Menurut Harun nasution mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua kelompok , yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mu’min, tidak kafir dan tidak akan kekal didalam neraka.
Adapun golongan ekstrim, terbagi menjadi empat kelompok yaitu :
  1. Jahmiyah, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati.
  2. Shalihiyah, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedang kufur tidak tidak tahu tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan.
  3. Yunusiyah dan Ubaidiyah, mengatakan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman.
  4. Hasaniyah, berpendapat bahwa jika seorang mengatakan, “ Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”


JABARIYAH

Jabariyah berasal dari kata Jabara yang berarti memaksa. Sedangkan dalam ilmu kalam Jabariyah adalah suatu kelompok atau aliran yang berpendapat bahwa segala tindakan manusia merupakan kehendak Allah SWT, yakni manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris Jabariyah disebut Fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qodar Tuhan.
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya seseorang mencuri. Perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qodar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah yang ekstrim adalah :
  1. Jahm bin Shofyan
Berpendapat bahwa :
  • Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
  • Surga dan neraka tidak kekal.
  • Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
  • Kalam Tuhan adalah makhluk.
  1. Ja’d bin Dirham
Berpendapat bahwa :
  • Al-Qur’an itu adalah makhluk.
  • Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
  • Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Sedangkan Jabariyah modern mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan jahat, tetapi manusia mempunyai bagian didalamnya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah modern :
  1. An-Najar
Berpendapat bahwa :
  • Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
  • Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat
  1. Adh-Dhirar
Pendapatnya sama dengan An-Najjar, yakni manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai peran dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.


QODARIYAH
Qodariyah berasal dari bahasa arab yang artinya kemampuan dan kekuatan. Sedangkan menurut terminology, Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervansi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri.
Doktrin Qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusai dilakukan atas kehendaknya sendiri. Ia mempunyaai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak mendapat hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuanya sendiri.
Faham taqdir dalam pandangan Qodariyah, bukanlah faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terleih dahulu. Dalam faham Qodariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta dan segala isinya sejak zaman azali, yaitu hokum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunatulloh.
Secara alamiyah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan, akan tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya fikir yang kreatif sehingga dapat membuat sesuatu.
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qodariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan.


MU’TAZILAH
Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri. Golongan Mu’tazilah muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khowarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khowarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Dan banyak versi yang lain.
Ajaran Mu’tazilah, Al-Ushul Al-Khomsah ( Lima Ajaran Dasar Mu’tazilah ) :
  • At-Tauhid ( التوحيد ), tidak mengakui adanya sifat bagi Tuhan , yang berdiri sendiri. Alasannya jika sifat berbeda dengan zatnya maka akan ada qodim dzat dan qodim sifat. Subtansinya mengakui bahwa Allah mempunyai sifat namun tidak berdiri sendiri sifat itu.
  • Al- Adl ( العدل ), Menurut Mu’tazilah, Allah menyuruh hambanya berbuat baik maka Allah tidak mungkin. Manusia bebas berbuat apasaja menurut kehendaknya. Tuhan akan menghukum yang berdosa dan memberi pahala kepada yang berbuat baik. Maka manusia yang bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya atau atas dirinya sendiri secara penuh.
  • Al-Wa’ad Al- Wa’id ( الوعد الوعيد ), janji dan ancaman Tuhan, pasti akan dilaksanakan dan pasti akan terjadi. Maka dari itu Tuhan adil.
  • Al- Manzilah baina Manzilataini ( posisi antara dua posisi ), dimana pertikaian orang yang telah berdosa besar maka dianggap orang yang tidak beriman, berarti dia kafir.Orang yang berdosa besar jika telah bertaubat maka orang tersebuat diantara surga dan neraka.
  • Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Menurut Mu’tazilah ini adalah doktrin agama, maka orang yang beriman wajib melaksanakan. Masa keemasan pada masa khalifah Al Ma’mun, dimana Al-Qur’an diyakini sebagai makhluk yakni diciptakan, maka menjadi kewajiban bagi orang Mu’tazilah untuk amar ma’ruf nahi mungkar.



ASY’ARIYAH
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
  1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
  2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
  3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
  4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
  5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
  6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apapun.
  7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar ma’ruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan keburukan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim. Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
  1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
  2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
  3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
  4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
  5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.