BUDAYA PESANTREN JAWA

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 19.17
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Untuk strategi pengembangan Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural lebih integratif.Kita patut mencontoh metodologi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Majapahit, ia mendorong percepatan proses transformasi itu, justeru dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang iagunakan adalah wayang.
Universalisme Islam adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dialah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya.
Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan dan berdasarkan kesadaran itu mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari dari seluruh budaya ummat manusia. Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak dalam etalase sejarah kebudayaan Islam sejak jaman Rasulullah, baik dalam format non material seperti konsep-konsep pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya. Pada masa awal Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma. Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabah-munasabah lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode pertahanan ala Persi. Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak mengatakan: "Ini metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para sahabat juga meniru manajemen administrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak ! keberatan dengan hal itu selama menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan) berasal dari Romawi.

Jika demikian, jelaslah perjalanan sejarah rekonsiliasi antara Islam sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan hukum legitimatif dari syara' berupa 'urf dan mashlahah. Maka untuk strategi pengembangan budaya Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Kenapa harus budaya? Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural lebih  integratif dan massal sifatnya. Sehubungan dengan hal ini, kita patut mencontoh metodologi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Maja pahit dan digantikan oleh egalitarianisme Islam, ia mendorong percepatan proses transformasi itu, justeru dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang ia gunakan adalah wayang, juga gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer adalah menghasilkan tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta dan Surakarta. Dalam seni musik Islam misalnya, yang mengandung elemen-elemen isi, tujuan, cara penyajian yang islami, kenapa justru alat musiknya seperti rebana yang lebih diperhatikan. Alat musik itu, menurut hemat saya, masuk dalam katagori 'urf. Ia bisa berubah sesuai dengan perkembangan jaman.[1]
Sepanjang sejarah pesantren Jawa terkenal begitu ramah terhadap budaya yang berada dimana pesantren itu berdiri, ini adalah bentuk sikap toleran dan tanggap akan perkembangan.
B.        Ruang Lingkup Masalah
1.      Karakteristik Pesantren Jawa
2.      Potret Pemikiran Dialektik Santri
3.      Budaya Santri di Era Global
BAB II
BUDAYA PESANTREN JAWA
A.    Karakteristik Pesantren Jawa
Pesantren sebagai lembaga pendidikan pertama di Tanah Air dengan model asrama yang didatangi oleh semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah dan rakyat jelata, berbeda dengan pendidikan dalam Hindu-Budha yang hanya didatangi anak-anak golongan aristokrat. Model pendidikan yang berasrama ini berorientasi pada pendidikan agama yang mampu membangun rasa satu keluarga dan satu guru di kalangan para cantrik atau santri. Perasaan satu ini tetap lestari meskipun mereka telah meninggalkan pesantren atau perguron.
Pesantren yang berakulturasi dengan budaya Jawa (Hindu-Bidha) memiliki cirri mempertahankan nilai harmoni. Harmonitas sosial dalam konotasi Jawa sangat dipaksakan dan menunjukkan nilai-nilai feudal, mempertahankan status quo, dan cenderung kurang resposif terhadap perubahan dan kemajuan. Padahal harmonitas itu harus fair, dalam arti interaksi sosial berjalan secara wajar tanpa ada tekanan-tekanan atau pemaksaan-pemaksaan yang menyumbat jalannya kebebasan.
Jargon yang ada di pesantren “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” (mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik) merupakan landasan dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya lokal meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna. Untuk menjaga harmonitas tersebut, pesantren menjadi akomodatif terhadap budaya setempat dan kurang memiliki greget pengembangan, sedang penghormatan terhadap tradisi dan pemikiran masa lalu membuat pesantren merasa gamang untuk memperlopori perubahan dan pengembangan budaya atau tradisi baru yang lebih konstruktif.
Salah satunya adalah kasus tentang menonton wayang sebagai bagian dari budaya lokal, Saifuddin Zuhri menunjuk tentang bagaimana tradisi pesantren dalam memegangi hukum: asal sesuatu mubah, boleh sehingga ada alasan (‘illat) yang mengharamkannya. Hukum itu bergantung pada alasan yang mendasarinya (al-hukmu yaduru ma’a illatihi). Untuk itu, dalam hal menonton wayang, seorang muslim harus pandai mengambil intisari dari cerita wayang sekaligus menghindari hal-hal yang menyebabkan keharamannya seperti bercampur baur antara laki-laki dan perempuan. Realitasnya, menonton wayang bagi masyarakat Jawa mengalami kesulitan untuk menghindarkan dari percampuran laki-laki dan perempuan, terbukanya aurat pesinden dan minuman keras atau perjudian. Mendiamkan seperti ini memang melahirkan kondisi harmonis, tetapi kemungkaran tetap berjalan dengan perubahan yang amat lambat.
Sikap demikian akomodif ini, menurut Kuntowijoyo, disebabkan karenan pada umumnya umat Islam Jawa mengkaji kitab kuning yang merupakan kodifikasi dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Inilah yang dijadikan alat untuk berfikir, berkata dan berbuat. Dekodifikasi disamping sifat positifnya, yaitu terjaganya hubungan antar-teks, juga mempunyai sifat-sifat negatif yang akan terjadi. Sifat negatif itu ialah (1) Involutif dan (2) Ekspansif. Involutif adalah gejala perkembangan ilmu yang semakin renik. Di pesantren ada kebiasaan untuk mengembangkan pengetahuan dengan menulis buku-buku Syarh (pembabaran terhadap kitab induk atau matan) dan Hasyiyah (penjelasan terhadap Syarh). Tradisi kelimuan seperti ini menunjukkan bahwa ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu adalah pengembangan dari buku-buku lama yang sudah dianggap mencapai standar (al-kutub al-mu’tabarah), tidak dalam pengembangan ilmu-ilmu dan pemikiran baru. Di sisi lain, akibat involusi itu terbentuk sikap hormat yang berlebih-lebihan pada guru atau kiai sebagai pemegang otoritas ilmu. Involusi itu juga mengakibatkan tertutupnya pintu ijtihad, karena orang dibuat tidak berani berfikir independen, lepas dari otoritas. Involusi ilmu ditunjukkan pada penguasaan kitab ad verbatim, kata demi kata bahkan secara hapalan di luar kepala. Ini berarti bahwa tuntutan terpenting bagi santri adalah pada hapalan, tidak pada analisis.
Dunia pendidikan pesantren yang mewakili masyarakat tradisional selama ini mengembangkan ilmu-ilmu Islam hanyalah dengan kodifikasi (penjabaran, penafsiran, sistematisasi) dari teks-teks al-Qur’an da Hadits. Teks-teks dikodifikasi menjadi teks baru, yaitu ilmu-ilmu Islam. Dekodifikasi adalah gerak dari teks ke teks. Sementara di  dunia luar pesantren tahun 1980-an ada gagasan Islamisasi ilmu. Ilmu-ilmu yang sudah ada “diislamkan” dengan mengembalikannya pada teks-teks Islam. Islamisasi itu adalah gerak dari konteks ke teks. Perkembangan baru yang diinginkan Kuntowijoyo adalah timbulnya ilmu-ilmu sosial yang mencoba menterjemahkan teks-teks Islam (al-Qur’an, al-Hadits, Tafsir, Fiqh, Tasawuf) dalam dunia nyata, dalam hidup sehari-hari, dalam gejala. Jadi, dari teks ke konteks yang ia sebut dengan demistifikasi Islam.
Pesantren merupakan tempat subur untuk pengembangan budaya dan peradaban Muslim. Peradaban tauhid bersandar pada ketentuan-ketentuan Tuhan untuk hal-hal primer. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreatifitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, strukturasi politik, dan masalah kebudayaan. Soal kebudayaan ialah akhlaq al-karimah. Budaya Jawa diperbolahkann berkembang selama tidak bertentangan dengan peradaban tauhid.
Sikap kompromi terhadap budaya lokal inilah yang oleh orang luar pesantren dimaknai sebagai sikap permisif, tidak tegas, dan bid’ah yang haram dilakukan oleh umat Islam. Sementara oleh kiai dan santri pesantren hal demikian dianggap sebagai suatu pilihan dan pendekatan dalam dakwah dengan pendekatan cultural yang selamanya boleh didasarkan pada akhlaq al-karimah.
B.     Potret Pemikiran Dialektik Santri
Potret pemikiran santri Jawa tersebut menurut penulis yang menarik adalah pemikiran Ahmad Tohari yang biasa dipanggil Kang Tohari. Sebagai orang Jawa, tradisi pesantren yang kental telah memberikan kontribusi berarti bagi sosok pemikiran Ahmad Tohari. Proses negosiasi antara adat dan Islam membentuk proses akulturasi budaya. Hal ini disebabkan karena Islam dipahami tidak pernah membangun relasi oposisional dengan adat dan budaya lokal. Islam yang diantaranya dibawa oleh “walisongo” telah berkolaborasi dengan budaya Jawa dan menjadi Islam Jawa yang memiliki karakteristik khas Jawa. Islam Jawa yang mengartikulasikan keislamannya melalui simbol-simbol dan tradisi Jawa.
Sebagai muslim yang memiliki tradisi pesantren NU, Ahmad Tohari dekat dengan  paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah yaitu ajaran yang mengikuti semua yang telah docontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga cirri khas kelompok ini. Ketiga prinsip itu adalah al-tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri atau ekstrim kanan), al-tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunanaan dalil ‘aqli dan dalil naqli), dan al-I’tidal (tegak lurus) dan tasamuh (toleran).
Kepercayaan pra-Islam pada masyarakat Jawa yang animis, dinamis, Hindu dan  Budha tetap dipandang oleh Tohari dalam pandangan adat dan tradisi kebudayaan lokal yang memiliki kearifan lokal yang tidak akan dibongkar dan dibersihkan jika tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sinkretisme dan kepercayaan  mistik tidak diposisikan sebagai bid’ah yang bertentangan dengan Islam, tetapi diposisikan sebagai tradisi yang masih bisa diislamkan dan memberi manfaat, sekecil apapun manfaat tersebut bagi kemanusiaan.
Sebagaimana kebanyakan para ahli antropologi, Tohari berpendapat bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa mitos atau mitologi. Mitos diperlukan dalam mencari kejelasan tentang alam lingkungannya dan sejarah masa lampaunya sebagai pelukisan atas kenyataan-kenyataan (yang terjangkau, baik yang relative demikian ataupun mutlak) dalam format yang disederhanakan dan mudah dipahami. Sebab dengan itulah manusia dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya dalam susunan kosmis ini, kemudian berdasarkan gambaran tersebur ia pun menjalani hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan. Bahwa setiap mitos betapapun itu salah, mempunyai faedah dan kegunaan sendiri.
Pemikiran Tohari berorientasi pada nilai humanis yang ia perjuangkan dalam setiap tulisannya dengan ramuan keakraban yang kuat dengan nuansa alam desa dan religi. Sebagai seorang yang terlahir dan dibesarkan di lingkungan santri, Tohari memegangi agama Islam tidak lepas tradisi lokal (Jawa) sehingga muatan budaya lokal dalam berbagai karyangan yang amat jelas terbaca.tembang-tembang Jawa mengiringi dasar logika yang ia bangun di samping ajaran etika dan syari’at agama.
Potret pemikiran santri Jawa ini agak berbeda dengan pemikiran santri pada umumnya. Karakteristik pemikirannya tersebut diantaranya:
1.      Menyampaikan gagasan dan pesan edukasinya lewat karya tulis di saat kebanyakan tokoh muslim menyampaikan secara oral dengan mendasarkan pada budaya santri pesantren dan tradisi Jawa.
2.      Mengadopsi kearifan lokal atau tradisi kejawen, baik melalui tembang-tembang Jawa maupun tradisi mistis lain. Sementara itu ia juga memunculkan tradisi Jawa lama yang diasumsikan mulai hilang, seperti Bukak Klambu, gowok dan nikah kampung. Ia juga mengangkat ronggeng, sebuah budaya Jawa yang terkesan minor bagi kaum santri.
3.      Kritik sosial khususnya yang terkait dengan kekejaman penguasa terhadap mantan narapidana politik atau orang yang diklaim terlibat dalam gerakan politik.
4.      Kritik terhadap kecendrungan masyarakat yang biasa menghukum “orang-orang salah” dengan hukuman sosial melalui klaim-klaim dan mengisolasianya dalam pergaulan sehari-hari.
C.     Budaya Santri di Era Global
Pesantren dianggap sebagai lahan rekrutmen kelompok garis keras yang potensial, yang disebut oleh Muslim Abdurrahman, menawarkan “tiket cepat masuk surga” hanya dengan keberanian berjihad melalui bom bunuh diri melawan kaum kuffar dan sekutunya. Padahal senyatanya pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional yang akarnya sangat lama dan pengaruhnya sangat besar dalam pembentukan budaya keislaman yang dikenal ramah dan damai.
Meskipun secara historis, pesantren sejak awal telah dikenal sebagai lembaga yang akomodatif terhadap budaya lokal, akan tetapi tudingan miring tersebut tetap dialamatkan ke pesantren secara umum. Sebuah generalisasi yang tidak bertanggungjawab. Menurut Abdurrahman Mas’ud, pesantren radikal yang jumlahnya sangat minim tersebut pada umumnya adalah “impor” dari luar negeri dan corak pemikirannya tekstualis-skriptualis.
Akulturasi budaya pesantren dengan budaya lokal merupakan negosiasi antara tradisi dan Islam, membentuk budaya baru pesantren. Hal ini disebabkan karena Islam diahami tidak pernah membangun relasi oposisional dengan budaya lokal. Islam yang diantaranya dibawa oleh “walisongo”, telah berkolaborasi dengan budaya jawa dan menjadi Islam Jawa yang memiliki karakteristik khas Jawa. Islam Jawa mengartikulasikan keislamannya melalui symbol-simbol dan tradisi Jawa. Dengan sentuhan ilmu dan teknologi modern dan membentuk symbol-simbol dan tradisi Jawa Islam modern.
Pesantren dalam merespons perkembangan global memiliki sikap yang beragam dalam kebijakan kependidikannya. Ada pesantren yang menolak dan mempertahankan kekhasan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan murni dengan kurikulum berdasarkan kitab kuning yang sudah dipelajari sejak awal berdirinya pesantren. Ada pesantren yang merespon kemajuan ilmu dan teknologi modern dan memformulasikannya dalam pengembangan kurikulum pesantren secara selektif. Pesantren mengkorelasikan kurikulum umum dengan kurikulum pesantren yang selama ini berjalan. Ada pesantren yang memodifikasi dan desain kurikulum barunya secara integrative dengan perkembangan yang ada. Pesantren model kedua dan ketiga ini, minimal memasukkan bahasa Inggris dan komputer dalam kurikulumnya.
Dengan perkemangan tersebut, dinamika pesantren menjadi sangat pesat dan respons terhadap lingkungan juga beragam. Keberagaman kualitas dan kuantitas santri pesantren ini membuat alumni pesantren memiliki wajah yang heterogen tidaak sebagaimana dulu lebih banyak menghasilkan guru agama dan petani. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu umum yang berkualitas sama dengan alumni sekolah atau perguruan tinggi lain membuat santri mampu menempati posisi-posisi strategis  dengan peran yang berbeda-beda seprti di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan juga seni.
Seniman dan sasrtrawan yang memiliki basic pesantren juga cukup banyak dengan perkembangan yang sangat menggembirakan. Perkembangan pemikiran inklusif dan pendidikan ketrampilan yang dilakukan di pesantren mendapatkan respons yang baik dari luar negeri terutama Negara-negara Barat. Pendidikan sebagai soft power akan diperankan oleh Barat untuk memengaruhi kebijakan Negara-negara Islam dan gerakan fundamentalisme Islam yang dikhawatirkan Barat.
Budaya santri di era global juga ikut mengglobal dalam artian tidak lagi memiliki wajah ragam apalagi tunggal. Ada santri yang ngluthu, nyentrik, dukun, liberal dan juga ada santri yang fundamentalis. Selain  itu ada juga santri akademisi, santri internet, santri politik dan broker, ada juga santri edan atau santri mursal dan santri lainnya sebanyak ragam profesi dan kecendrungan santri tersebut.[2]


























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jargon yang ada di pesantren “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” (mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi atau budaya baru yang lebih baik) merupakan landasan dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya lokal meskipun selama ini masih belum berjalan dengan sempurna. Untuk menjaga harmonitas tersebut, pesantren menjadi akomodatif terhadap budaya setempat dan kurang memiliki greget pengembangan, sedang penghormatan terhadap tradisi dan pemikiran masa lalu membuat pesantren merasa gamang untuk memperlopori perubahan dan pengembangan budaya atau tradisi baru yang lebih konstruktif.
Pesantren merupakan tempat subur untuk pengembangan budaya dan peradaban Muslim. Peradaban tauhid bersandar pada ketentuan-ketentuan Tuhan untuk hal-hal primer. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreatifitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, strukturasi politik, dan masalah kebudayaan. Soal kebudayaan ialah akhlaq al-karimah. Budaya Jawa diperbolahkann berkembang selama tidak bertentangan dengan peradaban tauhid.
Akulturasi budaya pesantren dengan budaya lokal merupakan negosiasi antara tradisi dan Islam, membentuk budaya baru pesantren. Hal ini disebabkan karena Islam diahami tidak pernah membangun relasi oposisional dengan budaya lokal. Islam yang diantaranya dibawa oleh “walisongo”, telah berkolaborasi dengan budaya jawa dan menjadi Islam Jawa yang memiliki karakteristik khas Jawa. Islam Jawa mengartikulasikan keislamannya melalui symbol-simbol dan tradisi Jawa. Dengan sentuhan ilmu dan teknologi modern dan membentuk symbol-simbol dan tradisi Jawa Islam modern.
Pesantren dalam merespons perkembangan global memiliki sikap yang beragam dalam kebijakan kependidikannya. Ada pesantren yang menolak dan mempertahankan kekhasan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan murni dengan kurikulum berdasarkan kitab kuning yang sudah dipelajari sejak awal berdirinya pesantren. Ada pesantren yang merespon kemajuan ilmu dan teknologi modern dan memformulasikannya dalam pengembangan kurikulum pesantren secara selektif. Pesantren mengkorelasikan kurikulum umum dengan kurikulum pesantren yang selama ini berjalan. Ada pesantren yang memodifikasi dan desain kurikulum barunya secara integrative dengan perkembangan yang ada. Pesantren model kedua dan ketiga ini, minimal memasukkan bahasa Inggris dan komputer dalam kurikulumnya.
B.     Saran
1.      Islam adalah agama yang ramah dan damai, maka hendaknya kita mengukuhkannya dengan penuh ramah. Karena Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.
2.      Islam haruslah jadi pelopor kemajuan peradaban, dengan memahami dan mengamalkan Islam sebagaimana mestinya peradaban yang beradab akan tercapai.








DAFTAR PUSTAKA

 Roqib, Moh. Harmoni dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Kesetaraan Gender). Purwokerto: STAIN Purwoketo Press, 2007












                                                                                       


[1] www.google.com Islam dan Akulturasi Budaya Lokal
[2] Drs. Moh. Roqib, M.Ag Harmoni dalam Budaya Jawa: STAIN Purwoketo Press Hal. 79-124
Search Engine Submission - AddMe