♠ Posted by IMM Tarbiyah in Kuliah Agama at 06.26
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang.
Cikal bakal
tasawuf dan tarekat, benih-benih dan dasar ajarannya sudah ada sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat di dalam perilaku dan peristiwa yang
terjadi pada kehidupan Nabi Muhammad SAW. Cikal bakal itu semua bersumber pada
Al-qur’an dan Al-sunnah. Cikal bakal seperti inilah yang diteruskan oleh
khulafaur-Rasyidin, para sahabat yang lain, para salafus, sampai dengan zaman
muta-akhirin sekarang ini.
Para
salafus dalam tarekat, merumuskan bagaimana sistematika, jalan, cara, dan
tingkat-tingkat jalan yang harus ditempuh oleh para calon sufi untuk cepat
bertaqarrub, mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Kenyataannya
dalam sejarah juga menunjukan bahwa peran aktif para sufi adalah amat besar di
dalam dakwah islam dan pembinaan umat, tidak hanya dalam bidang ibadah ubudiah
tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Oleh karena
itu, kami sangat tertarik untuk mengetahui seluk beluk tarekat, khususnya
mengenai tarekat mawlawiyah Dikarenakan pendiri tarekat ini adalah jalaluddin
al-rumi, dimana pendiri tersebut adalah seorang penyair yang terkenal dan
ajaran ini juga sampai pada negara barat. Inilah keunikan dari tarekat ini,
sehingga kami sangat tertarik untuk
membuat makalah mengenai tarekat mawlawiyah.
- Perumusan Masalah.
Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang tarekat mawlawiyah. Karena pada dasarnya
tarekat dapat dimengerti sebagai jalan menuju tuhan. Dimana kita sebagai umat
muslim, sangatlah penting untuk mengetahui bagaimana cara agar kita dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu perumusan masalah dalam
makalah ini adalah
1) Apa pengertian dari tarekat
mawlawiyah?
2) Bagaimana sejarah pendiri
tarekat mawlawiyah?
3) Apakah yang dimaksud dengan
tarian sama’ dan karya matsnawi?
4) Bagaimana konsep spiritual
dalam sama’?
5) Bagaimana simbolisme di
dalam tarian sama’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarekat Mawlawiyah.
Tarekat
(thariqah), yang secara harfiah berarti jalan kecil (putih), memilih dua
pengertian (konotasi) yang berbeda, tetapi tetap berhubungan. Yang pertama
tarekat dimengerti sebagai perjalanan spiritual menuju tuhan. Yang kedua
tarekat dipahami sebagai “persaudaraan” atau ordo spiritual yang biasanya
merupakan perkumpulan spiritual yang dipimpin oleh seorang guru ( mursyid ) dan
para khalifahnya.
Nama
mawlawiyah berasal dari kata “mawlana” (guru kami0 yaitu gelar yang diberikan
oleh muridnya kepada Muhammad Jalaluddin Rumi (wafat 1273). Oleh sebab itu Rumi
adalah pendiri tarekat mawlawiyah, yang didirikan sekitar 15 tahun terakhir
hidup Rumi.
B.
Sejarah Pendiri Tarekat Mawlawiyah.
Maulana
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri ( Jalaluddin Rumi )atau
sering disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh
(sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awal tahun 604 H, bertepatan pada
tanggal 30 September 1207 M.[1]
Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedangkan ibunya
berasal dari keluarga kerajaan khwarazm. Ayah
Rumi adalah seorang cendekia yang saleh, dan seorang guru yang terkenal
di Balkh. Pada saat Rumi berusia 3 tahun telah terjadi bentrok di dalam
kerajaan, maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi
dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar
Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu Attar yang meramalkan bocah ini (Rumi) kelak
akan masyhur yang akan menyalakan api gairah ketuhanan. Karya kumpulan puisi
Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi
terhadap ilmu kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga
mengkritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas,
mengebiri perasaan dan mengkultuskan Rasio. Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki
ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya.
Melalui
puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin
didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi
juga menyampaikan bahwa tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang
menyamai.
Ciri khas
lain yang membedakan puisi Rumi dengan penyair lain adalah seiringnya ia
memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tetapi hal ini bukan dimaksud
ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat
pernyataan pikiran dan ide. Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi
Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna
simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain tampil sebagai lambang dari keindahan jiwa
yang mencapai ma’rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai
pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu
karyanya yang paling terkenal adalah “ jangan tanya apa agama ku. Aku bukan
yahudi, bukan zoroaster, bukan pula islam, karena aku tahu, begitu suatu nama
ku sebut, kau akan memberikan arti yang lain dari pada makna yang hidup dihati
ku.”[2]
C. Tarian
Sama’ dan Karya Matsnawi pada Tarekat Mawlawiyah.
Tarian yang
ada dalam tarekat mawlawiyah adalah tarian sama’, dan tarian ini sangat
terkenal. Sama’ adalah tarian sakral yang diciptakan oleh Jalaluddin Rumi dan
tarian ini menjadi ciri khas dari tarekat mawlawiyah.
Shalawat
disenandungkan, gendang mulai di tabuh dan seruling ney mulai bertiup.
Sekelompok darwis mengenakan
atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar, baju
putih yang melebar dibagian di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas
kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah
hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Di
tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai pemimpin.
Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran Syaikh
tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas
menghormat. Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan, satu per satu
maju. Seetelah sang pemimpin memberi restu maka ritual pun dimulai.
Tangan-tangan masih menyilang
di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai merapat. Lalu dimulailah gerakan
berputar yang lambat, dengan tumit kaki dijadikan sebagai tumpuan secara
bergantian, sementara kaki yang satunya sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan
dilepas dari bahu dan mulai terangkat. Gerakan tangan yang anggun itu berangsur
membentuk posisi horizontal. Telapak tangan kanan menghadap ke atas dan yang
kiri ke bawah. Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama
yang mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam.
Kepala mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putarannya,
rok-rok putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung
yang teerbuka. Orang-orang itu semakin larut, suasana magis seolah-olah
tercipta. Gendang belum berhenti bertabuh, ney masih mengalun syahdu. Tanpa
isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti, mereka akan terus melambung
dalam keadaan ekstase.[3]
Begitulah tarian yang
dilakukan oleh para darwis.
Awal mula
ciptaan tarian ini, yaitu setelah kehilangan guru yang sangat dicintainya yaitu
Syamsuddin Tarbizi. gurunya ini sangatlah berarti bagi diri Rumi, karena betapa
cintanya Rumi kepada sang guru yang menyebabkan ia berubah dari teolog
dialektis menjadi seorang penyair sufi.
Bagi Rumi
menari adalah cinta, dan rumi tak berhenti menari karena ia tak pernah berhenti
mencintai tuhan. Hingga tiba saatnya di suatu senja 17 Desember 1273, ia di
panggil sang Maha Kuasa dalam keadaan diliputi cinta illahi.[4]
Setelah Rumi
wafat, tarekat mawlawiyah beserta dengan ritual sama’nya berlanjut kepada
pimpinan Syaikh Husamuddin Hasan bin Muhammad, yaitu salah satu sahabat dekat
Rumi. Husamuddin adalah seseorang yang telah banyak mendorong dan memberi
inspirasi kepada Rumi yang pada akhirnya melahirkan sebuah karya yang
mengagumkan yaitu Matsnawi. Sebuah kitab yang terdiiri dari 6 jilid dan berisi
25.000 untaian bait bersajak.
“jika kau
menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sana’i atau mantiq at-thayr milik
fariduddinAttar, niscaya akan menarik minat sekumpulan penyanyi keliling.
Mereka akan mengisi hatinya dengan apa yang kau tulis dan musik akan digubah
untuk mengiringinya”[5]
Begitulah saran yang diberikan oleh
Husamuddin kepada Rumi., dan bersama Husamuddin lah Matsnawi tercipta. Sehingga
karya ini juga dikenal dengan sebutan kitab i-Husam (bukunya husam).
Matsnawi berisi tentang
kefanaan dalam sama’. “Tatkala gendang ditabuh, serta merta sebuah rasa ekstase
meruk laksana buih yang meleleh dari debur sang ombak” begitulah senandung
rumi.
Setelah Husamuddin
wafat, tarekat mawlawiyah berlanjut pada pimpinan putra tertua Rumi yaitu
Sultan Walad. Ditangan putranyalah tarekat ini berkembang hingga ke seluruh
penjuru negeri.
- Konsep Spiritual dalam Sama’.
Sama’
bukanlah sembarang tarian karena di dalam sama’ terdapat konsep spiritual.
Sama’ dapat diartikan sebagai metode intuitif untuk membimbing seseorang
membuka jalan menuju tuhan. Ketika akal pikiran tidak mampu untuk menjangkau
tuhan, maka metode ini diitempuh melalui sama’.
Para darwis
melakukan tarian sama’ untuk meleburkan jiwanya dengan tuhan. Mereka
menghampiri kebenaran dengan membuang segala ego hingga tiba dalam kesempurnaan
pada perjalanan mistis spiritualnya. Pada akhirnya mereka kembali pada
tingkatan kesempurnaan yang meningkat, yang akan mengakibatkan mereka dapat
menebarkan cinta kepada seluruh makhluk ciptaan tuhan tanpa membedakan keyakinan/ras.
Dari tarian
ini terdapat 3 unsur penting di dalam karaterisik sama’ yaitu : pikiran, hati
(lewat ekspresi perasaan, puisi dan musik), dan tubuh (dengan menggerakkan
kehidupan lewat putaran).
- Simbolisme Tarian Sama’.
Sama’
mempunyai rahasia tersembunyi. Musik dan tari, masing-masing menyimpan muatan
spiritual. Musik yang mengiringi tarian sama’ merupakan media untuk
membangkitkan gairah kalbu dalam mengingat tuhan, yang dapat mengantarkan
seseorang ke alam yang tidak dapat dilihat.
Dalam
tarian sama’ putaran tubuh mengibaratkan elektron elektron yang bertawaf
mengelilingi intinya menuju Sang Maha Kuasa. Harmonisasi sel-sel terkecil
hingga sampai pada sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan sang pencipta.
Oleh karena
itu Rumi menyebut sama’ sebagai simbolisme kosmos, sebuah misteri yang sedang
menari. Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang
berputar. Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukan bahwa
hidayah Allah SWT. diterima oleh tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu
disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini semua mempresentasikan
sebuah penyerahan dan penyatuan dengan tuhan.
Atribut
yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan sebuah makna. Topi
mawlawi yang biasanya berwarna merah ataupun abu-abu melambangkan batu nisan
ego. Jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan
kelahiran kembali menuju pada kebenaran. Baju putih adalah kain kafan yang
membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan
dengan jiwa ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiup
oleh malaikat di hari kebangkitan manusia untuk menghidupkan kembali orang yang
telah mati. Karpet merah yang biasanya diduduki oleh sang syaikh, melambang
keindahan matahari dan langit senja, yang pada saat itu menghiasi kepergian
Rumi untuk selamanya.
Dengan berputarnya tubuh yang
berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan
cinta, karena manusia diciptakan dengan cinta untuk mencintai ( dalam hal ini
cinta kepada tuhan ).
Setelah berakhirnya
dinasti ottoman (utsmaniyah) serta berkuasanya presiden Attaturk di turki, maka
ruang gerak semua tarekat yang ada di turki dibatasi hingga pada akhir tahun
1927, pusat tarekat mawlawiyah di Konya hanya dijadikan sebagai museum
dantarian sama’ hanya boleh untuk jadi tontonan bagi para wisatawan.
BAB III
KESIMPULAN
Jalaluddin
Rumi adalah pendiri tarekat mawlawiyah yang berada di turki. Tarekat ini
terdapat ajaran mengenai tarian sama’, pengikut tarekat mawlawiyah menggunakan
tarian sama’ sebagai cara untuk pendekatan diri kepada tuhan (Allah SWT.).
karena tarian sama’ bukanlah sembarang tarian. Tarian ini memiliki makna
tersendiri untuk membimbing manusia
(pengikut tarekat mawlawiyah) dalam membuka jalan jiwanya menuju tuhan.
Tetapi tarekat ini tidaklah berkembang sampai sekarang
ini, karena pada saat berakhirnya dinasti ottoman tarekat ini dibatasi ruang
dan geriknya. Mereka tidak boleh beroperasi lagi, hal ini terbukti pada fakta yang telah terjadi bahwa tarian sama’ hanya
boleh dilakukan untuk tujuan tontonan bukan tuntunan.
DAFTAR PUSTAKA
kismawadi.blogspot.com/2009/11/tarekat-dan-perkembangannya.html