HUKUM JUAL BELI VALUTA ASING

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 06.23

PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah dengan segala kekurangan. Allah menyuruh manusia untuk belajar agar mereka selalu berkembang dan manusia diciptakan memiliki tugas berat yang diembannya, yaitu sebagai khalifah di muka bumi, memakmurkan bumi dan menjaga bumi agar tetap dalam keseimbangannya. Tidak dibiarkan secara percuma oleh Allah, tetapi ia dibekali sebuah alat yang sangat canggih dan kecanggihannya diakui sepanjang zaman, yaitu otak. Allah memberinya otak yang harus digunakannnya sebagai alat untuk berfikir untuk menjalani kehidupan dan sebagai pembeda dari ciptaannya yang lain. Dengan adanya alat inilah maka, manusia menjadi bisa berkembang sesuai pertumbuhannya dan menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang dianut seluruh manusia.
Salah satu ilmu pengetahuan yang berdampingan perkembangannya dengan sains adalah ekonomi. Ekonomi adalah sesuatu bagian yang terpenting dari hidup manusia. Dengan ekonomi manusia bisa berinteraksi dengan yang lainnya. Semakin berkembangnya abad, maka semakin berkembang juga sebuah  ilmu pengetahuan dan tentunya semakin berkembang pula sistem ekonomi yang dianut oleh manusia. Yang dahulunya dengan sistem barter, sekarang sudah menggunakan mata uang. Perkembangan dalam sistem ekonomi yang lainnya juga adalah, sistem ekonomi kapitalis yang bersifat global yang sudah dianut oleh sebagian negara di dunia. Dengan adanya sistem ekonomi global ini, maka secara otomatis alat pembayaran yang digunakan juga berbeda. Oleh karenanya diciptakanlah apa yang disebut valuta asing agar mempermudah menjalani proses perekonomian global tersebut.
Tetapi valuta asing adalah hal yang baru ada di zaman modern seperti sekarang. Sebagai seorang yang beragama Islam yang segala sesuatunya telah ditentukan dalam al-Quran dan al-Hadis maka sistem baru tersebut haruslah sesuai dengan dasar petunjuk umat Islam. Maka dari itu dalam makalah ini kan dibahas bagaimanakan valuta asing dalam perspektif Islam dan bagaimana hukum menganut sistem tersebut.


A.     Pengertian
Perdagangan valuta asing atau sering disebut forex triding mulai berkembang pada era 1970-an dan dianggap menjadi salah satu bisnis alternatif karena dapat mendatangkan keuntungan pelakunya[1]. Valuta asing sangat erat kaitannya dengan pertukaran mata uang sehingga kegiatan perekonomian dunia tidak dapat dipisahkan dengan perdagangan valuta asing[2].
Yang dimaksud dengan valuta asing, ialah mata uang luar negeri, seperti dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malaysia, dan sebagainya. Apabila antar Negara terjadi perdagangan internasional, maka tiap Negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya, eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importer Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri[3].
Dengan demikian, akan timbul penawaran dan permintaan devisa di bursa valuta asing. Setiap Negara berwewenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs ialah perbandingan nilai uangnya terhadap uang asing ). Misalnya 1 dolar Amerika = Rp. 1.640,00. Namun, kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi Negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing.
Adapun saham adalah termasuk efek (surat berharga yang dapat diperdagangkan seperti sertifikat dan obligasi), ialah surat berharga sebagai tanda pemegangnya turut memiliki perusahaan yang mengeluarkan saham itu[4].
Kurs saham itu juga seperti kurs valuta bisa berubah-ubah menurut hokum permintaan dan penawaran. Pada waktu ini, di Indonesia pencatatan kurs saham dilakukan oleh PT Danareksa di Bursa Efek Jakarta.

B.     Valuta Asing Dalam Pandangan Islam
Praktik valuta asing didalam Islam pada dasarnya diperbolehkan karena kegiata tersebut dapat diqiyaskan dengan perdagangan atau jual beli. Harganya sewaktu-waktu dapat naik dan juga turun. Pemegang saham, uang, obligasi dan surat berharga lainnya, sama seperti orang menyimpan emas ( bukan untuk perhiasan) yang harganya ada kalanya naik dan ada kalanya turun.
Yang tidak dibenarkan adalah memonopoli saham, valuta asing untuk tujuan tertentu, sehingga pada suatu ketika orang yang memonopoli dapat mempermainkan harganya dibursa efek atau jual beli valuta asing.
Nabi Muhammad saw memperingatkan dalam sabdanya dengan peringatan yang sangat keras

" orang yang menyediakan( mendatangkan )barang diberi riski dan orang yang menimbun barang mendapat laknat,"(HR. ibnu Majjah dengan Al Hakim)[5]
Pada prinsip syari'ahnya, perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam teminologi fiqih dengan istilah syarf, yang disepakati oleh para ulama tentang keabsahannya. Emas dan perak sebagai mata uang tidak boleh ditukarkan dengan sejenisnya, misalnya rupiah kepada rupiah atau dolar kepada dolar, kecuali sama jumlahnya (contohnya; pecahan kecil ditukarkan pecahan besar asalkan jumlah nominalnya sama). Hal ini karena dapat menimbulkan riba fadhl. Namun apabila berbeda jenisnya, seperti rupiah kepada dolar atau sebaliknya, maka dapat ditukarkan (exchange) sesuai dengan market rate (harga pasar) dengan catatan harus efektif, kontan/spot (taqabudh fi'li) atau yang dikategorikan spot (taqabudh hukmi) menurut kelaziman pasar yang berlaku. Meskipun hal itu melewati beberapa jam penyelesaian (settlement-nya) karena proses teknis transaksi. Harga atau pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli at        au harga pasar (market rate).
Nabi bersabda, "perjual belikanlah emas dan perak semau kalian asalkan secara kontan". Dalam hadits Ibnu Umar, Rasulullah memberikan penjelasan bahwa ketentuan kontan itu fleksible selama dalam toleransi waktu yang lazim, tidak menimbulkan persoalan dan tetap dalam harga yang sama pada hari transaksi (bisi'ri yaumiha).[6]

C.                                                                                                       Pendapat Masing-Masing Madzhab
Telah kita ketahui bahwa pedagangan valuta asing memang diperbolehkan didalam Islam, namun meskipun demikian tetap saja masing-masing ulama (madzhab) memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal tersebut.
Dalam madzhab Maliki diperselisihkan tentang penjualan yang dilakukan bersama-sama jual beli mata uang (sharp). Imam Maliki berpendapat bahwa perbuatan itu tidak boleh, kecuali jika salah satunya lebih banyak dan yang lain mengikuti pihak yang itu, baik jual beli mata uang itu dalam satu dinar/ beberapa dinar.
Pendapat lain mengatakan bahwa jika jual beli mata uang itu dalam satu dinar, maka jual beli tersebut boleh,  bagaimanapun terjadinya. Sedang apabila dalam jumlah yang lebih banyak, maka salah satunya diperhitungkan mengikuti kebolehan yang.[7]
Kemudian disebutkan dalam suatu hadits yang berbunyi:  Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.
Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Menurut ulama Hanafi dan mazham Dzahiri, boleh jual beli barang yang ada manfaatnya, termasuk benda najis, seperti kotoran hewan untuk rabuk tanaman dan minyak yang kena najis untuk penerangan. Pendapat Hanafi dan Dzahiri ini didasarkan kepada hadits Nabi, bahwa nabi menemukan kambing kepunyaan maimunah mati tergeletak, lalu nabi bersabda, “Mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan memanfaatkannya?” Mereka menjawab, bahwasannya kambing telah menjadi bangkai. Maka nabi bersabda, “Bahwasannya yang dilarang itu memakannya.” Maka dapat disimpulkan, bahwa memanfaatkan benda najis selain untuk makanan itu boleh menurut islam[8].
Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak  ada.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.[9]

D.    Jenis-Jenis Transaksi Valuta Asing
Adapun menurut transaksinya, jual beli valuta asing memiliki jenis-jenis sebagai berikut:[10]
1.      Transaksi spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bias dihindari dan merupakan transaksi internasional.
2.      Transaksi forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2×24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
3.      Transaksi swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
4.      Transaksi option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unusru maisir (spekulasi).
5.      Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
6.      Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
7.      Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
8.      Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-Taqabudh).
9.      Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat bertransaksi dan secara tunai.

E.                                                                                                       Praktik Pemasaran Valuta Asing
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut:
1.  Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
a.     Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
b.     Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
c.     Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).
2.  Syarat-syarat
a.     Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.
b.     Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst.
c.     Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi.
d.     Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya.

F.                                                                                                        Analisis Kelompok

DAFTAR PUSTAKA
Daud Darmawan, Mengenal Bisnis Valuta Asing,(Yogyakarta: Pinus, 2007), hlm. 9
[1] Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak dan Perdagangan,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.10
[1]M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan lembaga keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2000), hlm. 111
[1] Setiawan Budi Utama, Fiqh Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 73
[1] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy Syifa, 1990), hlm.155


[1] Daud Darmawan, Mengenal Bisnis Valuta Asing,(Yogyakarta: Pinus, 2007), hlm. 9
[2] Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Zakat, Pajak dan Perdagangan,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.10
[5]M. Ali Hasan, Zakat, Pajak Asuransi dan lembaga keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2000), hlm. 111
[6] Setiawan Budi Utama, Fiqh Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 73
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy Syifa, 1990), hlm.155