♠ Posted by IMM Tarbiyah in Tafsir Quran at 21.25
A. PENDAHULUAN
Ibrahim
adalah nama kekasih Allah, bapak para Nabi terbesar sesudah Nuh. Dan
kitab kejadian dikatakan bahwa, ia adalah anak kesepuluh dari Sam,
dilahirkan di negeri Ur, yaitu Nur dari negeri Celedonia yang sekarang
dikenal dengan nama Urfa di wilayah Aleppo. Hal ini dibenarkan oleh
sebagian ahli sejarah.
Di
dalam kitab kejadian dikatakan bahwa, Allah ta’ala menampakan diri Nya
kepada Ibrahim ketika beliau berusia 99 tahun. Allah berbicara dengannya
dan memperbaharui janji Nya dengannya, bahwa Dia akan memperbanyak
keturunannya dan memberinya negeri Kan’an (Palestina) sebagai miliknya,
dan menamakannya dengan nama keturunannya.
Ibrahim
disebut Abul Jumhur Al’azim. Berarti dia bapak umat. Ini merupakan
kabar gembira dari Allah baginya, bahwa dia akan mempunyai banyak
keturunan dari kedua anaknya : Ismail as. dan Ishaq as.
Sebagian ahli sejarah menukilkan bahwa Raja Hamurabi yang hidup semasa dengan Ibrahim as. Adalah seorang berkebangsaan Arab.
Ibrahim
telah menempatakan putranya, Ismail bersama ibunya, Hajar yang
berkebangsaan Mesir di sebuah lembah yang disitulah kemudian berdiri
kota Makkah. Allah telah mendudukan bagi mereka berdua sekelompok orang
Jurhum yang kemudian tinggal bersama mereka di sana.
Allah
menamakan bapak Ibrahim dengan Azar. Di dalam kitab kejdian namanya
adalah Terah yang berarti orang yang bermalas-malas. Di dalam kitab
Tarikh, Bukhari mengatakan, Ibrahim adalah putra Azar. Di dalam Taurat
ia dinamakan Terah, tetapi Allah menamakan Azar. Ad Dahhak dan Ibnu
Jarir menetapkan bahwa namanya Azar.
B. TAFSIR SURAT AL AN’AM AYAT 74-79
1. Ayat 74
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Dan
(ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, "Pantaskah
kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku
melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
Hai
Rosul, ceritkanlah kepada orang-orang musyrik yang telah kami terangkan
kepadamu hujah-hujah atas kebatilan kemusyrikan dan kesesatan mereka,
ketika mereka menyembah sesuatu yang tidak ada kuasa untuk mendatangkan
manfaat maupun kemudharatan kepada mereka—kisah-kisah tentang nenek
moyang mereka, Ibrahim yang mereka agungkan, dan mereka mengaku-aku
sebagai pengikut agamanya, ketika dia membantah kaumnya dan menjelaskan
kebatilan apa yang mereka perbuat. Yaitu ketika dia berkata kepada
Azhar, bapaknya—sambil mengingkari kemusrikannya dan kemusrikan
kaumnya, serta penyembahannya terhadap berhala dengan meninggalkan
penyembahan terhadap penciptanya—“Hai Azhar, apakah kamu menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah yang
menciptakanmu dan menciptakannya, padahal hanya Dia lah yang berhak
disembah ?”
Sesungguhnya
aku melihatmu dan kaummu yang sama-sama menyembah berhala ini berada
dalam kesesatan yang nyata dari jalan yang lurus, tidak ada keraguan
padanya untuk mengikuti petunuk. Berhala-berhala ini adalah
patung-patung yang kalian pahat dari batu, kalian buat dari kayu atau
dari logam, sedang derajat kalian lebih tinggi dan mulia daripadanya.
Menurut zatnya, ia bukan Tuhan. Tidak layak bagi orang yang berakal
untuk menyembah apa yang sebanding dengannya dalam penciptaan, tidak
pula dalam kekuasaan sang khalik, butuh kepada Allah Yang Maha Kaya lagi
Maha Kuasa, tidak kuasa untuk mendatangkan manfaat maupun kemudharatan,
tidak dapat member dan menahan pemberian.
Disifatinya
kesesatan dengan nyata untuk menjelaskan apa yang telah terjadi pada
diri mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh bahasa, seperti firman Allah
ta’ala kepada Rasulullah saw, “ Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (Ad Dhuha, 93:7).
Dan seperti perkataan anda kepada orang yang anda lihat menyimpang dari jalan yang ditempuhnya, “Sesungguhnya jalan itu dari sini, tetapi anda menyimpang darinya.”
2. Ayat 75
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
“Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami
yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”
Kami
telah memperlihatkan kebenaran kepada Ibrahim tentang perkara bapak dan
kaumnya, bahwa mereka benar-benar berada di dalam kesesatan yang nyata,
lantaran beribadah kepada berhala dan patung. Demikian pula setahap
demi setahap, Kami memperlihatkan kepadanya kerajaan langit dan bumi.
Yakni Kami ciptakan keduanya dengan segala isinya, berupa aturan-aturan
yang indah dan buatan yang mengagumkan. Kami perlihatkan kepadanya
bintang-bintang yang beredar pada orbitnya di atas jalur yang tetap.
Kami perlihatkan padanya bumi dan yang ada di dalam berbagai lapisannya,
berupa barang-barang tambang yang bermanfaat bagi kehidupan manusia
apabila dia menggunakannya secara benar menurut apa yang telah kami
tunjukan kepadanya. Kami juga tampakan kepadanya perkara bumi itu, baik
yang bersifat batin maupun lahir. Semua ini dilihat dari segi bukti yang
menunjuk kepada keesaan, keagungan kekuasaan dan peliputan ilmu kami
atas segala sesuatu.
Semua
itu Kami perlihatkan adanya, agar dia mengetahui sunnah Kami terhadap
makhluk, kebijaksanaan Kami di dalam mengatur jerajaan, dan ayat-ayat
yang menunjukan Rububbiyah Kami. Supaya dengan itu, dia dapat menegakan
hujjah terhadap orang-orang musyrik yang sesat, dan supaya dia sendiri
termasuk orang-orang yang benar-benar yakin sampai ketingkat
‘ainul-yaqin.
Kemudian Allah Ta’ala merinci kerajaan langit dan bumi yang diperlihatkan kepadanya secara global. Dia berfirman :
3. Ayat 76
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
Ketika
malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
Ketika
Allah Ta’ala mulai memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepadanya,
seakan ceritanya yang pertama adalah sebagai berikut : ketika malam
telah gelap dan menutupi alam bumi sekitarnya, dia memandang kerajaan
langit. Dilihatnya sebuah bintang besar yang menonjol dari
bintang-bintang lainnya, karena sinarnya yang berkilauan, yaitu Jupiter
yang yang merupakan Tuhan terbesar bagi sebagian penyembah bintang dari
bangsa Yunani dan Romawi kuno. Kaum Ibrahim adalah imam mereka di dalan
penyembahan ini, sedang mereka hanya pengikutnya. Ketika melihat itu,
Ibrahim berkata, “ Inilah Tuhanku”. Perkataan ini dikemukakannya
dalam forum perdebatan dan adu argumentasi dengan kaumnya, sebagai
permulaan pengingkaran terhadap mereka. Pertama-tama dia mengemukakan
perkataan mereka sendiri guna menarik perhatian mereka supaya mau
mendengarkan hujjah atas kebatilan sembahan terhadap bintang itu.
Pertama-tama dia mengaburkan pandangan mereka. Kemudian dia menyampaikan
kritiknya, yang dalilnya didasarkan atas indra dan akal.
Tatkala bintang itu tatkala bintang itu tenggelam dan menghilang, dia berkata, “Sesungguhnya aku tidak menyukai apa yang terbenam dan menghilang”.
Perkataan ini disampaikan karena orang yang sehat fitrahnya tidak akan
menyukai sesuatu yang hilang daripadanya, dan tidak pula merasa kesepian
karena kehilangannya. Bagaimana pendapat anda sekarang tentang
kecintaan yang paling tinggi dan sempurna? Fitrah dan akal yang yang
sehat telah memberikan bimbingan kepada kecintaannya itu. Oleh sebab
itu, krcintaan di dalam beribadah ini hanya patut diberikan kepada Tuhan
Yang Maha Ada dan Dekat, Maha Mendengar, Maha Melihat lagi Mengawasi,
yang tidak pernah hilang, lengah atau lupa, dan yang Zahir dalam segala
sesuatu dengan ayat-ayatnya:
“Dengan segala sesuatu Dia mempunyai tanda menunjukan bahwa Dia Maha Esa”
Juga yang batin dalam segala sesuatu dengan kebijaksanaan dan kehalusannya, “
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat
segala yang kelihatan, dan Dia-lah Yang Maha halus lagi Maha
Mengetahui”. (Al An’am, 6:103).
Di dalam hadits, ketika kejelasan makna ikhsan diungkapkan,
“ Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya,
kalaupun kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya dia melihatmu.”
Ringkasnya,
ayat ini mengisyaratkan kebodohan kaumnya didalam menyembah sesuatu
yang tidak terlihat oleh mereka dan tidak tahu sedikit pun tentang
urusan ibadah mereka kepadanya. Makna ini lebih dekat dengan
perkataannya kepada bapaknya, “ Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Maryam, 19:42)
Ibrahim
mengemukakan hujjah dengan tenggelamnya bintang tanpa mengemukakan
terbitnya, yang kedua adalah perpindahan dari satu keadaan pada keadaan
lain, karena tenggelammnya adalah perpindahan yang disertai dengan
bersembunyi dan menutup diri. Ini termasuk hal yang bertentangan dengan
sifat rububiyyah.
Hujjah
Ibrahim dalam meninggalkan ibadah terhadap Matahari, bulan dan bintang.
Ketika melihat permulaan terbitnya bulan dari balik ufuk, dia berkata, “Inilah Tuhanku”.
Perkataan itu disampaikannya dengan nada menceritakan apa yang biasa
mereka katakana, sebagai pendahuluan untuk membatalkan perkataan mereka
itu.
Dari
siyaqul-kalam, segera dapat diketahui, bahwa Ibrahim melihat bintang
pada suatu malam dan melihat bulan pada malam berikutnya.
4. Ayat 77
فَلَمَّا
رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ
لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ
“Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi
setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat."
Ketika
bulan itu tenggelam sebagaimana halnya bintang, padahal ia nampak lebih
besar, cahayanya lebih terang dan sinarnya lebih tajam. Dia berkata
sambil mendengarkannya kepada orang-orang disekitarnya, “Sekirnya
Tuhanku tidak memberiku petunjuk dan taufik untuk mencapai kebenaran
dalam tauhidNya, tentulah aku sudah termasuk kaum zalim yang tidak
mencapai kebenaran dalam hal itu”. Sehingga mereka tidak mendapat
petunjuk, menyembah selain Allah, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak
mengamalkan apa yang diridhai Allah Ta’ala.
Disini
terdapat sindiran yang lebih pantas dikatakan terdapat keterusterangan
kesesatan kaumnya, dan isyarat kepada bergantungannya hidayah Ad Din
pada wahyu Illahi. Disini, sindiran meningkat karena hujjah lawan bicara
telah terpojok dengan pembuktian pertama, sehingga keyakinan mereka
termodali. Ibrahim baru menyindir kesesatan setelah dia yakin, bahwa
mereka mau mendengarkan maksud terakhir dari pembicaraannya. Dalam
langkah ketiga, dia beralih dari sindiran kepada terus-terang,
menyatakan kebesarannya dari mereka, dan bahwa mereka benar-benar berada
dalam kemusrikan yang nyata. Hal ini setelah kebenaran benar-benar
nampak.
5. Ayat 78
فَلَمَّا
رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا
أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
“Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia
berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan.”
Sambil menunjuk matahari, dia berkata, “Yang aku lihat sekarang, inilah Tuhanku”. “Ia lebih besar dari bintang dan bulan.”
Tampak disini, bahwa Ibrahim memperpanjang argumentasinya untuk
menyudutkan mereka. Dalam pembicaraannya ini pula terdapat pendahuluan
untuk menegakan hujjah atas mereka, dan tahapan untuk memancing
perhatian mereka agar mau mendengarkan pembicaraan sesudah sindiran yang
dikhawatirkan akan mereka sangkal.
Ringkasnya,
matahari yang terbit ini lebih besar dari bintang dan bulan, lebih
terang dan bercahaya. Oleh sebab itu ia lebih patut dikatakan sebagai
Tuhan. Setelah matahari terbenam, sebagaimana yang lainnya menghilang,
lalu tertutuplah cahayanya, dan kesunyian melebihi kesunyian karena
gelapnya bintang dan bulan, maka dia membeberkan sejelas-jelasnya, apa
yang dia kehhendaki setelah sindiran itu, sambil melepaskan diri
kemusrikan kaum karena keburukannya.
Ringkasnya,
dia memutar balik dan mengulur-ulur pembicaraan dengan penuh kelembutan
hingga sampai kepada apa yang dia kehendaki dengan cara yang terbaik
dan halus, sambil membebaskan diri dari sesembahan-sesembahan yang
mereka jadikan Tuhan dan tuhan-tuhan selain Allah itu.
Setelah membebaskan diri dari kemusrikan mereka itu, dia menutup dengan menjelaskan akidahnya akidah yang murni, dia berkata,
6. Ayat 79
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku di dalam beribadah hanya kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi, serta menyempurnakan penciptaannya di dalam
enam hari. Dia-lah yang menciptakan bintang-bintang yang terang
benderang. Dial ah yang menciptakan kalian, barang-barang tambang dan
tumbuh-tumbuhan yang kalian jadikan berhala.
Ringkasnya,
Ibrahim berlepas diri dari kemusrikan mereka atau sekutu-sekutu mereka,
kemudian dari diri mereka sendiri. Senada dengan ayat ini ialah firman
Allah dalam Q.S. Al Mumtahah ayat 4 yang berbunyi, “Sesungguhnya
telah ada tauladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka,
‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian’.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Zaid, bahwa ketika Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi”,
kaum Ibrahim berkata, “Engkau tidak membawa apa-apa, kami menyembahNya
dan menghadapkan diri kepadaNya”. Ibrahim membantah, bahwa dia lurus
dalam hal itu yakin memurnikan ketaatan kepadaNya, tidak menyekutukan
sesuatu denganNya sebagaimana mereka lakukan.
Yang
dia maksudkan adalah, bahwa dia menyimpang dari sembahan-sembahan
mereka yang batil dan dari sesembahan lainnya. Penyerahan dirinya adalah
murni, tidak ternodai oleh kemusrikan atau riya. Dia tidak termasuk
orang yang menyekutukanNya, yang menghadapkan diri kepada selain Allah
seperti bintang, malaikat, raja, orang-orang saleh, atau benda-bendayang
mereka jadikan Tuhan seperti berhala dan patung.
Secara
lahir, apa yang diceritakan Allah tentang Ibrahim as, adalah bahwa
kaumnya menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan, bukan sebagai
pencipta yang menjadikan bintang-bintang sekaligus sebagai pencipta
tuhan-tuhan. Allah ialah sembahan. Setiap yang menyembah sesuatu maka
dia telah menjadikannya Tuhan Ar –Rabb ialah yang menguasai, memelihara,
mengatur dan bebas berbuat. Makhluk tidak mempunyai Tuhan selain Allah
yang menciptakan mereka. Dia lah yang menguasai segala sesuatu disetiap
zaman dan keadaan, sedangkan kerajaan selain Allah bersifat kurang dan
sementara. Dial ah yang berhak disembah. Ibadah ialah menghadapkan diri
dengan berdoa dan mengagungkan, baik bersifat perkataan maupun perbuatan
kepada Tuhan yang mempunyai kekuasaan tertinggi, yang menciptakan,
mengadakan dan bebas untuk bertindak terhadap makhluk.
C. ANALISIS
Ada dua asal penciptaan ibadah kepada selain Allah, seperti kepada batu, matahari, bulan dan sebagainya.
Pertama,
sebagai orang yang lemah akalnya melihat beberapa manifestasi kekuasaan
Allah Ta’ala pada sebagian makhlukNya. Mereka mengira bahwa yang
demikian itu bersifat dzati (yang sebenarnya) bagi makhluk ini, bukan
sebagai akibat dari sunah-sunah Allah yang dapat dijadikan sebagai
sebab-musabab.
Kedua,
dijadikannya sebagian makhluk yang mempunyai kekhususan untuk
memberikan manfaat atau mudharat, sebagai perantara kapada Tuhan yang
Hak guna memberikan syafa’at di sisiNya dan mendekatkan kepada Allah
bagi setiap orang yang menghadapkan diri. Maka orang yang mempunyai
kebutuhan, memohon dan mengagungkan (makhluk) dengan perkataan maupun
perbuatan, dengan anggapan bahwa dengan sebab pengaruh makhluk itulah
Allah Ta’ala akan menerima permohonannya.
Diantara
makhluk yang mereka buat sebagai pernatara ini ialah patung, berhala,
kuburan dan lain sebagainya. Inila syirik yang dilakukan orang-orang
Arab pada masa diutusnya Nabi SAW. Oleh sebab itu, ketika tawaf di
Baitul Haram, mereka berkata, “Kusambut panggilan Mu, tidak ada sekutu
bagi Mu, kecuali sekutu yang ia adalah milik Mu, Engkau dan segala apa
yang ia miliki.”
Ibrahim
telah membawa hujjah yang sempurna. Dia mencurahkan ibadahnya hanya
kepada Allah, Pencipta langit dan bumi, tanpa melalui perantara.
Mengenai patung-patung yang mereka buat, Ibrahim berkata, “Sebenarnya
Tuhan kalian Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku
termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian
itu”. (Al An Biya, 21 ayat 56)
D. SUMBER
Ahmad Mustafa Al Maragi. Tafsir Al Maragi. Toha Putra : Semarang. Cet. 2. 1992