♠ Posted by IMM Tarbiyah in Teori Pendidikan at 21.24
A. PENDAHULUAN
Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, berkembang pula pola pikir umat
manusia. Pendidikan sebagai sarana pencerahan umat pun memiliki nuansa
berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lain, sehingga bermunculan
pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan
dengan kebutuhan yang diperlukan. Beberapa teori dari para pemikir
memunculkan adanya aliran pendidikan. Aliran-aliran tersebut diantaranya[1]
: Aliran Empirisme, Aliran Nativisme, Aliran Naturalisme, Aliran
Konvergensi, Aliran Progresivisme, Aliran Esensialisme, Aliran
Perenialisme dan Aliran Konstruktivisme.
B. ALIRAN PENDIDIKAN
1. Aliran Empirisme
Tokoh
aliran Empirisme adalah John Locke (1632-1704). Dia adalah seorang
filusuf dari inggris. Teorinya dikenal dengan Tabulae Rasae (Meja
Lilin), yang menyebutkan bahwa, anak lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih.
Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan.
Faktor bawaan dari orang tua ( faktor keturunan) tidak dipentingkan.
Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan, baik
lingkungan sosial, alam dan budaya.
Menurut
aliran ini, pendidik sebagai faktor luar, memegang peranan sangat
penting. Sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan
anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Dari pengalaman
itulah yang akan membentuk tingkah laku, sikap, dan watak anak sesuai
dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Aliran ini dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut :
v Dalam
suatu keluarga yang kaya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala
alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena
bakat melukis pada anak itu tidak adda. Akibatnya dalam diri anak
tersebut terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya
tidak optimal.
v Ketika
anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan pada lingkungan yang
berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan
miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga yang kaya
raya dan hidup di kota juga disekolahkan di sekolah modern. Ternyata
pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan
aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkaan kemampuan
dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak
yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
2. Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer (1788-1869), seorang filosof Jerman. Aliran ini berpendapat bahwa, Perkembangan Individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak.
Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat
yang dibawa sejak lahir. Menurut aliran ini, keberhasilan belajar
ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak
memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya
jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan yang
tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi
perkembangan anak itu sendiri.
Sebagai
contoh: jika sepasang orang tua pemusik, maka anak-anak mereka akan
menjadi pemusik pula. Harimau pun tidak pernah melahirkan domba. Jadi,
pembawaan dan bakat orang tua selalu berpengaruh terhadap perkembangan
kehidupan anak-anaknya.
3. Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. Ia adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Naturalisme mempunyai pandangan bahwa
setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun
pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan. Oleh
karena itu, sebagai pendidik J.J. Rousseau mengajukan konsep
Pendidikaan Alam yang maksudnya adalah anak hendaklah dibiarkan tumbuh
dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak
mencampurinya.
Naturalism memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M.Arifin dan Aminuddin R., 1992), yaitu :
a. Anak
didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi
antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di
dalam dirinya secara alami.
b. Pendidik
hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik hanya
sebagai fasilitator atau nara sumber yang menyediakan lingkungan yang
mampu mendorong keberanian anak didik kearah pandangan yang positif dan
tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari
pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada anak didik sendiri.
c. Program
pendidikan sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan
menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi pada pola belajar anak
didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan
lingkungan belajarnya sendiri sesuai minat dan perhatiannya.
4. Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah Louis William Stern.
Dia seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1938. Aliran
Konvergensi merupakan kombinasi anatara aliran Natiisme dan Empirisme.
Aliran ini berpendapat bahwa, anak
lahir ke dunia telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan
perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi
factor pembawaan dan lingkungan sama-sama penting.
Anak
mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang
baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir
tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai
bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik
tidak akan menghasilkan perkembangan anak secara optimal jika tidak
didukung oleh bakat baik yang dibawa oleh anak.
Dengan
demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat
bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan. Hanya saja
William Stern tidak menerangkan seberapa besar perbandingan seberapa
besar perbandingan pengaruh kedua factor tersebut.
5. Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa, manusia
mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta
mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang
bersifat mengancam dirinya.
Aliran
ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal
itu ditunjukan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan dibanding
makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis[2] dan kreatif[3]
yang didukung oleh kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan
memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik
yang secara teori mengerti karakter anak didiknya.
Peserta
didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan ruhani, namun
juga diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan ruhani, terutama kecerdasan, perlu
dioptimalkan. Artinya peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan
sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang
berlangsung disekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam
maupun luar sekolah.
6. Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber dari filsafat idealism[4] dan realism[5].
Sumbangan yang diberikan keduanya bersifat eklektik, artinya dua aliran
tersebut bertemu sebagai pendukung esensialisme yang berpendapat bahwa
pendidikan harus bersendikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah tatanan yang menjadi
pedoman hidup sehingga dapat mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai yang
dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif selama empat abad yang lalu, yaitu zaman Renaisas.
Adapun pandangan tentang pendidikan dari tokoh pendidikan dari tokoh Reinsas[6] yang:
a. Pertama adalah Lohan Amous Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu dianjurkan melalui indra, karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa.
b. Kedua adalah Johan Frieddrich Herbart
(1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebijakan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian
dengan hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan oleh
Hebart disebut sebagai pengajaran.
c. Ketiga addalah William T. Harris (1835-1909) yang berpendapat bahwa, tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas berdasarkan kesatuan spiritual[7].
Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah
turun-temurun dan menjadi panutan penyesuaian orang pada masyarakat.
Dari
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme
menghendaki agar landasan pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu
yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun dan telah turun-temurun
dari zaman ke zaman sejak zaman Renaisans[8].
7. Aliran Perenialisme
Tokoh aliran Parenialisme adalah Plato, Aris Toteles dan Thomas Aquino. Parenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis[9] zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang. Pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini.
Pada
awalnya, peserta didik diberi kecakapan-kecakapan dasar seperti :
membaca, menulis dan berhitung. Selanjutnya dilatih pula kemampuan lebih
tinggi seperti berlogika, retorika[10] dan bahasa.
8. Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico,
seorang epistemolog Italia. Dia dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya
Konstruksionisme. Ia mengatakan bahwa, Tuhan adalah pencipta alam
semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Suparno,1997:24). Mengerti
berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat
mengetahui segala sesuatu karena Dia pencipta segala sesuatu itu.
Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi
Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget melalui teori perkembangan kognitif. Piaget mengemukakan bahwa, pengetahuan merupakan interaksi continu antara individu satu dengan lingkungannya.
Artinya, pengetahuan merupakan proses bukan suatu barang. Menurut
Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman
dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat
terbentuk pengertian baru (Paul Suparno, 1997:33).
Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu : Asimilasi[11], Akomodasi[12] dan Ekuilibrasi[13]. ( Suwardi, 2004:24).
Aliran
ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi
kognitif dalam diri seseorang melalui pengalaman yang diterima panca
indra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman dan
perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan
yang dilakukan dari seseorang kepada orang lain dengan alasan
pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahan. Sehingga jika
pembelajaran ditunjuk untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia
saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini
ditunjukan untuk menggali pengalaman.
C. KESIMPULAN
Setiap
individu baru yang ada di bumi ini akan tumbuh dan berkembang seiring
berjalannya waktu. Demikian juga manusia, dari bayi, balita, anak-anak,
remaja, dewasa, hingga tua. Mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan itu
diakibatkan oleh banyak hal. jika kita melihat penjelasan dari berbagai
aliran diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan pengetahuan
seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu factor intern dan factor
ekstern manusia.
a) Factor
intern yaitu factor yang muncul dari dalam diri manusia itu sendri. Hal
ini bisa dilihat dari mereka yang memiliki kemampuan untuk berkembang
yang ditentukan oleh keturunan (aliran nativisme), bawaan sejak lahir
(aliran nativisme, konvergensi dan naturalism), kemampuan otak (aliran
progresivisme), bakat (aliran konstruktivisme), pengetahuan dan cara
berpikir (aliran parenialisme)
b) Faktor
ekstern yaitu factor yang muncul dari luar diri manusia, meliputi :
pengalaman (aliran empirisme), lingkungan (aliran konvergensi),
nilai-nilai (aliran esensialisme) dan kehendak Tuhan (aliran
konstruktivisme).
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Mukhlison, Ilmu Pendidikan, Jogjakarta: Nadi Ofset, 2008.
Partanto, A. Pius dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, 1994.
Suwarno, wiji., Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara, 2002.
[1] Effendi, Mukhlison, “ Ilmu Pendidikan”, Jogjakarta, 2008, hlm. 51.
[2] Senantiasa bergerak maju dan terus berubah.
[3] Mempunyai kemampuan untuk mencipta.
[4] Bersifat angan-angan, cita-cita.
[5] Kepatuhan terhadap fakta, kepada apa yang tampak dan terjadi, bukan kepada yang diharapkan dan diinginkan.
[6] Suwarno, wiji., Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta, 2002, hlm. 49.
[7] Mencangkup
nilai-nilai kemanusiaan yang non-materi seperti: kebenaran, kebaikan,
keindahan, kesucian, cinta; rohani, kejiwaan: intelektual.
[8] Reinsans
: kebangkitan kembali, yaitu waktu kebangkitan seni, sastra dan
pengetahuan di Eropa mulai abad ke-14-17 dan merupakan peralihan dari
abad pertengahan ke abad modern.
[9] Kebenaran yang tidak diragukan.
[10] Retorika : metode/ keadaan berpidato.
[11] Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki.
[12] Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru.
[13] Ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi.