Thaharah

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 10.01

Pendahuluan
Telah kita ketahui bersama bahwa hadats adalah suatu keadaan yang mengharuskan seseorang untuk bersuci, baik itu hadats besar maupun hadats kecil. Dan telah dijelaskan bahwa hadats besar adalah hadats yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub dan yang semacamnya, sementara hadats kecil adalah yang bisa dihilangkan cukup dengan wudhu, walaupun bisa juga dihilangkan dengan mandi. Ada satu kaidah yang perlu diperhatikan, yaitu: Asal seseorang yang telah berwudhu adalah wudhunya tetap syah sampai ada dalil shahih yang menyatakan wudhunya batal.
Dalam hukum islam, di kenal denga adanya fiqh yang membahas tentang thoharoh. Thoharoh ini, menjadi sarat penting untuk mengawali sebuah ibadah mahdhoh. Seseorang di katakana sah apabila memenuhi salah satu syarat sahnya dalam suatu ibadah sholat fardhu yaitu wudlu.
Maka dari itu, menjadi penting wudlu dan hal-hal yang menyertai seperti pembatala wudlu. Maka pada makalah kali ini, sedikit akan kami bahas terkait hal-hal yang membatalkan wudlu berdasar empat (4 ) imam Madzhab.




Thaharah menurut bahasa, berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqih) berarti membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan sholat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi dan tayamum.1
Terkait dengan hal-hal yang membatalkan wudlu, akan kami sampaikan pembahasannya di bawah ini.

  1. Kencing, kotoran, dan keluar angin.
Kaum muslimin telah sepakat semua, dengan keluarnya kencing dan kotoran dari dua jalan (qubul dan dubur), serta angin dari tempat yang biasa, maka ia dapat membatalkan wudhu. Sedangkan keluarnya ulat, batu kecil, darah dan nanah, maka ia dapat membatalkan wudhu menurut syafi’I, Hanafi, dan Hambali. Tetapi menurut Maliki, tidak sampai membatalkan wudhu, kalau semuanya itu tumbuh didalam perut, tapi kalau tidak tumbuh di dalamnya; seperti orang yang menelan batu kecil, lalu batu tersebut keluar dari tempat biasa (anus), maka ia dapat membatalkan wudhu, kecuali kalau keluar bercampur dengan kotoran.2
Terkait masalah keraguan, apakah ia kentut atau tidak. Hal ini di sebutkan dalam sebuah hadits.
Jangan dia memutuskan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid)3

  1. Madzi dan Wadzi
Menurut empat imam madzhab: ia dapat membatalkan wudhu, tetapi menurut Imamiyah: tidak sampai membatalkan wudhu. Hanya Maliki memberikan pengecualian bagi orang yang selalu keluar madzi. Orang yang seperti ini tidak di wajibkan berwudhu lagi. 4
Dari Ali bin Abi Thalib RA, berkata5 :
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً فَأمَرْتُ الْمِقْدَادً أَنْ يسآل----------
Saya sering mengeluarkan madzi, lalu saya memerintahkan al-Miqdad untuk bertanya kepada Rasulullah Saw, maka dia bertanya dan beliau bersabda, “ harus berwudhu”. Mutafaq’alaih. Lafaz ini adalah lafazh al-Bukhari.
Dalam hadits lain, juga di sebutkan berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda tentang seseorang yang mengeluarkan madzi, “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)6
  1. Hilang akal7
Hilang akal karena mabuk, gila, pingsan, atau naik pitam, maka menurut kesepekatan semua ulama, ia dapat membatalkan wudhu. Tapi kalau masalah tidur, Imamiyah : Kalau hati, pendengaran dan penglihatannya tidak berfungsi sewaktu ia tidur, sehingga tidak dapat mendengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya dan tidak dapat memahaminya, baik orang yang tidur tersebut dalam keadaan duduk, terlentang atau berdiri, maka bila sudah demikian dapat membatalkan wudhu. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hambali.
Hanafi, kalau orang yang mempunyai wudhu itu tidur dengan terlentang, atau tertelungkup pada salah satu pahanya, maka wudhunya menjadi batal. Tapi kalau tidur duduk, berdiri, ruku’ atau sujud, maka wudhunya tidak batal. Barang siapa yang tidur pada waktu sholat dan keadaanya tetap dalam posisi seperti sholat, maka wudhunya tidak batal, walaupun tidur sampai lama.
Syafi’I, kalau anusnya tetap dari tempat duduknya, seperti mulut botol yang tertutup, maka tidur yang demikian itu tidak sampai membatalkan wudhu tapi bila tidak, maka batal wudhunya.
Maliki, membedakan antara tidur ringan dengan tidur berat. Kalau tidur ringan, tidak membatalkan wudhu, begitu juga kalau tidur berat dan waktunya hanya sebentar, serta anusnya tertutup. Tapi kalau ia tidur berat, dan waktunya panjang, ia dapat membatalkan wudhu, baik anusnya tertutup maupun terbuka.
Dari Anas bin Malik RA. Berkata :
Adalah para sahabat Rosulullah Saw pada zamannya mereka menunggu shalat isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”. Di riwayatkan oleh Abu Daud, di shahihkan oleh ad-Daraquthni dan asalnya ada pada riwayat muslim.8

  1. Mani9
Mani dapat membatalkan wudhu, menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi menurut Syafi’I, ia tidak dapat membatalkan wudhu. Sedangkan menurut Imamiyah: Mani itu hanya di wajibkan mandi bukan di wajibkan berwudhu.

  1. Menyentuh10
Syafi’i: Kalau orang yang berwudhu itu menyentuh wanita lain tanpa ada aling-aling (batas), maka wudhunya batal, tapi kalau bukan wanita lain, seperti saudara wanita, maka wudhunya tidak batal.
Sesungguhnya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah mencium sebagian istrinya kemudian beliau keluar mengerjakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi.” (HR. Ahmad, dan di dhaifkan oleh Bukhari).
Hanafi, wudhu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh, yang sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Imamiyah, Menyentuh itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Ini kalau sentuhan itu pada wanita. Begitu pula jika orang yang menyentuh kemaluannya, baik anus maupun qubulnya tanpa ada aling-aling, maka menurut Imamiyah dan Hanafi: ia tidak membatalkan wudhu.
Syafi’I dan Hambali: Menyentuh itu dapat membatalkan wudhu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki : Ada hadits yang di riwayatkan oleh mereka, yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan wudhu, tapi jika menyentuh dengan belakangnya, tidak membatalkan wudhu. ( Al Bidayah wa Al Nihayah, karya Ibnu Rusyd, dalam pembahasan nawaqidhul wudhu).
Terkait menyentuh kemaluan, ada sebuah hadits yang mengatakan:
Hadits dari Busra RA bahwa Rasulullah Saw bersabda11 ;
Barangsiapa menyentuh kelaminnya maka hendaknya dia berwudhu”. Di keluarkan oleh Lima dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Bukhari berkata, “ Hadits di bab ini yang paling shahih.”

  1. Muntah12
Menurut Hambali: ia dapat membatalkan wudhu secara mutlak, tapi menurut Hanafi: Ia dapat membatalkan wudhu kalau sampai memenuhi mulut. Sedangkan menurut Syafi’I, Imamiyah, dan Maliki: ia tidak membatalkan wudhu.
Muntah bukanlah pembatal wudhu karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut, karenanya kita kembali ke hukum asal yang telah kami sebutkan sebelumnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumallah-.
Adapun hadits,
“Barangsiapa yang muntah (dari perut) atau mimisan atau muntah (dari tenggorokan) atau mengeluarkan madzi maka hendaknya dia pergi dan berwudhu.” (HR. Ibnu Majah dari Aisyah), maka ini adalah hadits yang lemah. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi telah melemahkan hadits ini, karena di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyasy dan dia adalah rawi yang lemah.13

  1. Darah dan Nanah
Sesuatu yang keluar dari badan bukan dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti darah, dan nanah, maka menurut Imamiyah, syafi’I dan Maliki: ia tidak membatalkan wudhu. Hanafi: Ia dapat membatalkan wudhu, jika mengalir dari tempat keluarnya.
Hambali : Ia dapat membatalkan wudhu dengan syarat darah dan nanah yang keluar itu banyak.

  1. Tertawa
Tertawa itu dapat membatalkan sholat, menurut kesepakatan semua kaum muslimin, tetapi tidak dapat membatalkan wudhunya ketika waktu sholat, maupun di luarnya kecuali menurut Hanafi.
Hanafi: Dapat membatalkan wudhu kalau tertawanya sampai terbahak-bahak di dalam sholat, tetapi di luar sholat tidak membatalkan wudhu.

  1. Daging Unta
Kalau orang yang mempunyai wudhu ia memakan daging unta, maka wudhunya batal, pendapat ini hanya menurut Hambali saja.
Dalam sebuah hadits, dari Jabir bin Samurah RA.
Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw, “ Apakah saya harus berwudhu karena makan daging kambing? “ Nabi Saw menjawab, “ Terserah kamu”. Apakah saya berwudhu karena makan daging onta? “ Nabi Saw menjawab, “ Ya”. Di riwayatkan oleh Muslim.14

  1. Darah Haid
Al’allamah Al-Hilli dalam bukunya Al-Tadzkirah menjelaskan, beliau termasuk salah seorang ulama besar ahli fiqih dari kalangan Imamiyah: Darah haid itu kalau sakit, ia wajib berwudhu, begitulah menurut pendapat ulama kami, kecuali Ibnu Abi ‘Uqail. Sedangkan menurut Maliki: Bagi orang yang haid, tidak di wajibkan berwudhu.
Terkait darah haid dan istihadhah, di sebutkan dalam sebuah hadits.
Dari Aisyiyah RA berkata15 :
Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Nabi SAW, dia berkata, Ya Rasulullah, saya seorang wanita mustahadhah dan tidak suci, apakah saya meninggalkan sholat? Nabi Saw menjawab, “ Tidak, itu darah penyakit dan bukan haid. Jika haidmu tiba maka tinggalkanlah sholat. Jika ia telah berlalu maka cucilah darah dari dirimu kemudian shalatlah.” .Mutafaq’alaihi.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah bahwa darah istihadhah tidaklah membatalkan wudhu, karena tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan hal itu. Dan hukum asal pada wudhu adalah tetap ada sampai ada dalil yang menetapkan batalnya. Asy-Syaukani berkata dalam An-Nail, “Tidak ada satu pun dalil yang bisa dijadikan hujjah, yang mewajibkan wudhu bagi wanita yang mengalami istihadhah.”
Penutup

Fiqh merupakan salah satu perkara yang menjadi khilafiah dalam hukum islam. Maka tidak sedikit, hukum yang di perselisihkan oleh para imam/ulama. Dan itu semua, menjadi salah satu khasanah keilmuan tersendiri.
Akhirnya, kami ucapkan syukur alhamdulillah, makalah ini dapat kami sajikan. Setidaknya, kami telah berusaha, terlepas dari hasil yang baik ataupun kurang. Dan semoga, menjadi salah satu bahan keilmuan yang akan menambah pengetahuan kawan-kawan.

1 Muhammad Jawad Mughniyah. 2010. Fiqh Lima Madzhab. Lentera. Hlm. 3
2 Ibid. hlm. 17
3 http://al-atsariyyah.com/pembatal-pembatal-wudhu.html
4 Muhammad Jawad Mughniyah. 2010. Fiqh Lima Madzhab. Lentera. Hlm. 17
5 Abdul Qadir Syaibah al-Hamd. 2005.Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram.Darul Haq. Jakarta. Hlm. 84
6 http://al-atsariyyah.com/pembatal-pembatal-wudhu.html
7 Muhammad Jawad Mughniyah. 2010. Fiqh Lima Madzhab. Lentera. Hlm. 17-18
8 Abdul Qadir Syaibah al-Hamd. 2005.Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram.Darul Haq. Jakarta. Hlm. 81
9. Fiqh Lima Madzhab. hlm. 18-19
10 Fiqh Lima Madzhab. Hlm. 18
11 http://al-atsariyyah.com/pembatal-pembatal-wudhu.html
12 Fiqh Lima Madzhab. Hlm. 18
13 http://al-atsariyyah.com/pembatal-pembatal-wudhu.html
14 Fiqh Islam Syarah Bulughul Maram. Hlm. 91
15 Fiqh Islam Syarah Bulughul Maram. Hlm. 82