Pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 07.09

A.   Pendahuluan.
Dalam mempelajari sebuah disiplin ilmu alangkah baiknya juga mempelajari tokoh-tokoh yang memberikan sumbangsih terhadap disiplin ilmu tersebut. Sebagaimana ilmu kalam, ilmu yang bercerita mengenai keyakinan. Salah satu tokohnya yaitu Muhammad Abduh  yang berpendapat bahwa ilmu kalam itu adalah ilmu yang berisi sekumpulan pendapat untuk mempertahankan keyakinan dengan menggunakan dalil-dalil logika.

B.   Pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh.
a.      Keberadaaan akal.
Abduh memiliki keyakinan bahwa akal merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan sesudah wahyu dan hadis. Abduh melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut mengenai ibadah bersifat terperinci. Sedang untuk ajaran hidup kemasyarakatan masih bersifat umum. Menurutnya semua itu dapat disesuaikan menurut perkembangan zaman. Oleh karena itu perlu adanya ijtihad, dimana peran akal sangat diperlukan.  Seperti Qs. Albaqarah:276

Selain itu juga disebabkan adanya pergulatan kecenderungan kedua pandangan dominan yang sama-sama ekstrim, baik yang tekstual (As Salafiyah al Harfiyah) maupun gaya berpikir ala Barat.
Kelompok pertama lebih cenderung memakzulkan akal dari posisinya sebagai salah satu jalan kebenaran. Biasanya, mereka selalu sudah merasa cukup untuk hanya berdiri di gapura sebuah teks tanpa mencoba berpikir apa maksud yang tersirat di balik teks itu. Dan kelompok kedua, lebih keblabasan dalam menempatkan akal. Menurutnya, tak ada jalan menuju kebenaran kecuali akal. Akal bebas bergerak di ranah manapun. Mereka berpaham, tak ada otoritas atas akal kecuali hanya akal saja. Tak ada yang mengatasinya walaupun Wahyu Tuhan.
Dari sini Abduh secara maksimal berusaha menggerakkan akal ke posisinya yang proporsional. Ia memunculkan terma baru: “Rasionalitas yang Islami” (al Aqlâniyah al Islâmiyyah) melawan sikap skeptis antiakal atau yang berlebih-lebihan mendewakan akal.
b.      Fungsi wahyu.
Dalam teologi Muhammad abduh, wahyu memiliki dua fungsi. Yang pertama timbul dari keyakinan bahwa jiwa manusia akan terus ada dan kekal sesudah tubuh manusia itu mati. Adanya keyakinan mengenai kehidupan setelah dunia ini bukanlah hanya khayalan belaka.
Fungsi kedua yaitu ada kaitan erat antara wahyu dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Nabi-nabi diutus Tuhan ke permukaan bumi. Karena tabiat manusia itu sendiri yang menghajadkan keberadaan nabi-nabi guna membimbing kemashlahatannya. Manusia memerlukan bimbingan untuk mengatur hidupnya di dunia dan untuk mengetahui keadaan hidupnya di akhirat kelak.
Oleh karena itu wahyu menolong akal untuk mengetahui keadaan akhirat dan keadaan hidup manusia disana. Meskipun akal sulit untuk memahaminya, akan tetapi akal dapat menerima hal itu. Qs. Al-Baqarah:25 yang artinya
. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya[32].
[32]. Kenikmatan di syurga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani[1].
Selain itu juga, wahyu membawa syariat untuk mengatur kehidupan manusia agar terjadinya persatuan bukan malah sebaliknya, perpecahan.
Sebagai contoh, manusia untuk selalu menepati janji, Qs. Al-fath :10, yang artinya
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. Tangan Allah di atas tangan mereka[1397], maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
[1396]. Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad s.a.w. beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. Mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin melakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau. Merekapun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah.
[1397]. Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya[2]
c.       Kebebasan manusia dalam berbuat.
Muhammad abduh berasumsi bahwa manusia memilki kebebasan dalam berbuat (qadariyah), hal tersebut dipaparkan dalam Risalah Tauhid.
ia menyatakan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi[3].
Alasannya bahwa manusia merupakan makhluk yang berpikir dan berusaha dalam perbuatannya menurut petunjuk pikirannya. Dengan demikian manusia bebas melakukan perbuatanya karena ia memiliki pikiran untuk menentukan pilihan dalam perbuatannya. Pilihan perbuatan tersebut akan membawa konsekuensi bagi manusia itu sendiri.
d.      Sifat Tuhan.
Abduh berasumsi bahwa Tuhan tidak bersifat, jika tuhan bersifat yakni memerlukan sesuatu yang berada di luar dzatNya maka ada yang lebih tinggi dari pada dzat tuhan. Sifat bagi Abduh termasuk hakikat tuhan.

C.   Kesimpulan.
Dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh, seperti halnya dalam ungkapan Abduh mengenai pengertian ilmu kalam itu sendiri, bahwa ia menggunakan akal untuk mempertahankan keyakinan. Oleh karena itu pemikiran pertama dari Muhammad Abduh adalah posisi akal.

Daftar pustaka

Nasution, Harun. 1994. Pembaharuan dalam Islam Sejarah pemikiran dan gerakan. Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Saefudin, Didin. 2003. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam. Jakarta: PT. Grasindo.




[1] Alquran digital
[2] Alquran
[3] Didin Saefudin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT. Grasindo. 2003) hlm. 25