Hukum Perempuan Menjadi Imam Bagi Laki-laki

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 07.07

A.   Pendahuluan.
Bagaimana hukumnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki?
Pertanyaan ini muncul berkaitan dengan peristiwa di sebuah gereja katedral, St. John, di Manhattan, New York, Amerika Serikat.
Ketika itu, Prof. Dr. Amina Wadud, guru besar di Amerika Serikat, menjadi imam dan khotib untuk shalat jum’at. Jama’ahnya berjumlah sekitar 100 0rang bercampur laki-laki dan wanita, dimana shaf shalat bercampur aduk antara laki-laki dan perempuan.
      Mengenai hal itu, akhirnya terjadilah polemik antara KH Ali Mustafa Yaqub dengan KH Husein Muhammad. Dimana Mustafa sebagai kubu yang kontra sedang Husein dari kubu yang pro. Lantas, apa hukum yang sebenarnya bagi imam perempuan  tersebut?


B.   Pembahasan.
a.      Variasi Pendapat.
 
“Dalam suatu riwayat, Abdurrahman bin Khalid berkata. Rasulullah SAW. Biasa berkunjung ke rumahnya (Ummu Waraqah binti Naufal), Beliau mengangkat seorang muadzin untuk dia, dan menyuruhnya (Ummu Waraqah) menjadi imam keluarganya. Kata Abdurrahman bin Khallad al Anshar maka aku lihat muadzin itu seorang lelaki sepuh. Dalam isnadnya terdapat Walid bin Abdullah bin jami’ az Zuhri al Kufi, dan perihalnya menjadi perbincangan dan muslim telah mengeluarkan padanya” (Ustad Bey Arifin dkk. 1992: 399-400).
Adanya hadis riwayat Abu Daud, yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh Ummu Waraqah mengimami shalat penghuni rumahnya, merupakan pangkal polemik mengenai Amina Wadud.
Berdasarkan penelitian oleh KH. Ali Mustafa Yaqub, guru besar ilmu hadis Institut Ilmu Quran (IIQ) Jakarta bersama mahasiswi IIQ berkesimpulan bahwa hadis mengenai Ummu Waraqah adalah daif atau lemah. Baginya hadis daif tersebut  tidak bisa dijadikan dalil untuk mensyariatkan imam perempuan. Dalam penelitiannya, hadis tentang Ummu Waraqah diriwayatkan melalui 11 jalur sanad. Semua jalur itu bertemu pada satu titik periwayat yang bernama Walid bin Juma’i.
“Menurut Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud Walid “tidak bermasalah” (laisa bihi ba's). Ibnu Ma'in dan Al-'Ijli menilainya "terpercaya" (tsiqqah). Abu Hatim menilai riwayatnya "bagus" (shalihul hadits). Sementara itu, Ibnu Hibban satu waktu menilainya "terpercaya", waktu lain menilainya "rawi lemah". Yahya bin Sa'id tak mau menulis hadis riwayat Walid. Jadi, banyak yang menilai positif, tapi ada yang menilai negatif. Menurut Mustafa, dalam ilmu hadis ada kaidah, bila seseorang dinilai kredibel tapi ada orang lain yang menilainya tidak kredibel, maka yang dipakai penilaian bahwa ia tak kredibel. Meski yang menilai kredibel lebih banyak. Dengan kaidah ini, maka Walid bin Jumai' dinyatakan tidak kredibel, dan hadis Ummu Waraqah yang ia riwayatkan berstatus daif. "Hadis itu tidak dapat dipakai sebagai dalil agama," tutur Mustafa” (http://www.gatra.com/2006-07-14/artikel.php?id=96216).
Selain itu kelakuan Amina Wadud sebagi Imam bagi laki-laki dan perempuan juga dinilai oleh MFI yang bernaung di bawah Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan bid’ah yang menyesatkan. Pernyataan resmi ini menjelaskan bahwa Amina Wadud telah melakukan pelanggaran hukum-hukum syariat dari beberapa segi; yaitu khutbah Jumat oleh wanita, imam wanita atas jamaah pria, jamaah wanita dan pria yang berdiri sejajar dan berdampingan serta terjadinya ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita) dalam ibadah.
Akan tetapi oleh KH. Husein Muhammad penulis isu-isu fikih dan perempuan yang juga rajin menelisik kitab keagamaan klasik, setuju dengan apa yang dilakukan oleh Amina Wadud, bahwa wanita boleh mengimami laki-laki. Ia juga meneliti periwayat hadis tersebut, yang tokoh sentralnya dan tokoh-tokoh yang menilai Walid pun juga sama dengan Mustafa. Malahan ia menambah 1 pengkritik lagi yaitu Al-Uqaili yang menilai hadis Walid membingungkan. Temuan ini Husein pakai  untuk membandingkan dengan kualitas hadis jabir yang berbunyi



“Jangan sekali-kali perempuan mengimami laki-laki….”
Menurut Husein, hadis ini bertumpu pada periwayat bernama Muhammad bin Abdullah al-Adawi. Sosok ini lebih banyak menuai kritik. Bukhari menyebutnya "tak diterima" (munkar). Abu Hatim menyebutnya "guru tak dikenal" (syaikh majhul). Daruquthni menilai hadisnya "ditinggalkan" (matruk). Ibnu Hibban menyebut hadisnya "tidak boleh dijadikan dasar hukum" (http://www.gatra.com/2006-07-14/artikel.php?id=96216).
Menurutnya, yang lebih pokok adalah apakah isinya sesuai dengan prinsip dasar agama atau tidak. Bahwa hadis Ummu Waraqah, sejalan dengan prinsip Islam yang memberi kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian karena islam memberi kesetaraan gender, Husein berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi laki-laki.

b.      Analisis.
Apakah hadis diatas (Ustadz Bey Arifin dkk. 1992: 399-400), mengandung arti bahwa wanita boleh menjadi imam bagi laki-laki?
Memang, hadis tersebut menyatakan adanya syaikh ‘ajûz (lelaki tua renta) sebagai muadzinnya. Akan tetapi, tidak berarti lelaki itu juga menjadi makmum Ummu Waraqah. Pertama, harus dipahami bahwa justru karena ada hadis yang melarang wanita menjadi muadzin, maka syaikh ‘ajûz tadilah yang kemudian menjadi muadzin.
Seperti pada HR. Al-Uqailie yang berbunyi:



“Sesungguhnya kelemahan dan aurat itu (shifat) orang-orang wanita, oleh karena itu tutuplah kelemahan mereka dengan diam; dan sembunyikanlah aurat-aurat mereka dengan (tinggal) dirumah-rumah” (A. Hassan. 2007: 838).
Dalam hadis ini, ada perkataan: tutuplah kelemahan mereka dengan diam, maksudnya wanita-wanita tidak boleh mengeraskan suara mereka. Oleh karena itu, terang bahwa wanita tidak boleh beradzan karena di dalamnya ada larangan wanita bersuara keras.
Kedua, tidak adanya riwayat yang mendukung bahwa lelaki tersebut juga menjadi makmum Ummu Waraqah. karena hadis tersebut masih bersifat umum, apalagi ada hadis yang secara khusus dari ad-Daruquthni yang menyatakan:


“Beliau (Nabi SAW) mengizinkannya untuk menjadi imam bagi kaum wanita penghuni rumahnya” (http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/bolehkah-wanita-mengimami-pria/)
Dengan demikian jelas, bahwa pendapat yang menyatakan kebolehan wanita menjadi imam shalat bagi kaum pria tidak bisa digunakan sebagai pijakan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam kaidah ushul: : “Al-’umûm yabqâ bi ‘umûmihi mâ lam yarid dalîl at-takhshîsh (Yang umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya)” (http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/bolehkah-wanita-mengimami-pria/).

C.   Kesimpulan.
Berdasarkan penjelasan diatas, perempuan menjadi imam bagi laki-laki tidak diperkenankan.

D.   Daftar pustaka.

Ustadz Bey Arifin dkk. 1992. Tarjamah Sunan Abu Daud. Semarang: Asy-Syifa.

A. Hassan. 2007. Soal-Jawab tentang berbagai Masalah Agama 3-4. Bandung: CV. Diponegoro.




http://www.gatra.com/2006-07-14/artikel.php?id=96216