♠ Posted by IMM Tarbiyah at 06.35
Secara bahasa Maqashid al Syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari
Yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air yang dapat diartikan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan. As- syatibi mendefinisikan bahwa maqashid syari’ah bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa maqashid syari’ah adalah suatu tujuan syariat di peruntukkan bagi seluruh umat manusia untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia itu sendiri.
Berdasarkan pembacaan sejarah terhadap maqashid al- syari’ah, kebanyakan mengklaim bahwa Imam Syatibi adalah tokoh yang pertama kali mengangkat maqashid sebagai cabang ilmu dalam memahami syari’ah dalam memahami syari’ah di dalam kitabnya “ Al-Muwafakat” yang sebelumnya bernama “Unwan at ta’rif bi asrar at taklif ”. Hal ini wajar karena pada realitasnya Imam Syatibi adalah ulama pertama yang menyusun sebuah kitab yang fokus membicarakan perihal maqashid ini, meskipun pada realitasnya, ilmu ini sudah mulai di angkat sejak abad ke-3 H oleh Imam at Tirmizi al Hakim, Abu Manshur al Maturidy (333 H), Abu Bakar Qaffal Asy Syasy (365 H), Abu Bakar al Abhary (375), Al Baqillani (403 H), yang selanjutnya adalah dua ulama yaitu Imam al Haramain dan muridnya Imam Ghazali.
Seperti yang telah disinggung, bahwa Imam Syatibi adalah tokoh yang pertama kali mengangkat maqashid sebagai cabang ilmu syari’ah di dalam kitabnya yang berjudul “Al- Muwafakat”. Di dalam kitab tersebut Imam Syatibi membagi menjadi 5 bagian :
1. al- Muqadimah
2. al - Ahkam (hukum-hukum)
3. al- Maqashid ( tujuan syari’at )
4. al- Adillah (dalil-dalil)
5. al- Ijtihad
Dalam membahas point 1 dan 2 pembahasan Imam Syatibi tidak jauh beda dengan kitab ushul fikh lainnya. Sedang di dalam point ke-3 Imam Syatibi membagi bab maqashid menjadi 3 kategori yaitu al- dharuriyat (tujuan primer), al-hajiyat (tujuan sekunder), dan al-tahsiniyat (tujuan suplementer).
Al-dharuriyat adalah segala sesuatu yang apabila tidak tersedia akan menyebabkan rusaknya kehidupan. Ini terkait 4 hal : ibadah, adat, muamalat, dan jinayat. Ibadah mengacu pada pertahanan atas agama (hifdzu al-din). Misalnya shalat, zakat,dsb. Adat mengacu pada perlindungan jiwa dan akal (hifdzu nafs dan aql) contohnya makan, minum, pakaian.Muamalat mengacu pada perlindungan keturunan, harta dan akal (hifdzu nasl wa mal wa aql) contohnya anjuran perkawinan untuk berketurunan, akses untuk memperoleh kekayaan, dll. Sedangkan jinayat mengacu pada amar ma’ruf nahi munkar. Dari uraian di atas, hakikatnya terdapat 5 prinsip yang harus di laksanakan yaitu hifdzu al-din, hifdzu nafs, hifdzu aql, hifdzu nasl, hifdzu mal.
Al- hajiyat adalah segala sesuatu yang penting namun tidak sedemikian darurat. Artinya seandainya kebutuhan ini tidak terpenuhi tidak sampai menyebabkan rusaknya kehidupan. Ibadah misalnya dispensasi meninggalkan puasa. Adat seperti diperbolehkannya makan yang enak dan halal. Muamalat seperti jual beli. Jinayat seperti dikenakan denda bagi pembunuh yang berakal.
Al- tahsiniyat bermakna hal yang tidak mendesak dan menggunakan sepantasnya.dalam ibadah misalnya pelaksanaan ibadah sunah, bersedekah, dll. Lingkup adat meliputi etika makan dan minum, dll. Muamalat mencakup larangan berlebihan dalam penggunaan air. Sementara jinayat seperti larangan membunuh anak kecil,wanita.
Selanjutnya dalam point ke-4 berisi tentang dalil sumber hukum islam seperti al-qur’an, hadist, ijma (konsensus), qiyas (analogi). Uraian ini hampir sama dengan kitab ushul fikh lainnya. Satu hal yang perlu di ingat bahwa al-syatibi sekalipun mengedepankan kepentingan umum dalam penetapan hukum, namun beliau tidak mengobral bebas konsep ini dan menjadikan teks sebagai tolak ukur dalam menentukan kemaslahatan. Hal itu terbukti ketika beliau membahas penafsiran dalil al qur’an , beliau sangat berhati-hati untuk menetapkan kebolehannya. Contohnya : kebolehan jual beli dengan cara ‘araya yang mengandung resiko dan mempersingkat pelaksanaan ibadah dalam keadaan terjepit atau sakit.
Bab terakhir dalam muwafakat adalah seputar ijtihad. Pembahasannya pun hampir sama dengan kitab ushul fikh lainnya. Hanya ada satu hal yang menarik dari al- muwafakat dalam pembahasan ijtihad. Yakni dalam pandangan syatibi, seseorang dikatakan mujtahid ketika memenuhi 2 kriteria : pertama, memahami maqashid syari’ah secara sempurna. Kedua memiliki pengetahuan dalam penggalian hukum berdasarkan pemahaman terhadap maqashid syari’ah