ISLAM KEJAWEN

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 06.59

Setiap agama tidak mungkin bersih / tidak terpengaruh dengan kebudayaan lokal. Begitu juga dengan agama islam, sebagai sebuah sistem ajaran agama yang akan selalu berdialog dengan budaya lokal di mana pun islam berada. Seperti pada islam kejawen, sesungguhnya islam kejawen berasal dari kebudayaan jawa yang mengalami percampuran dengan agama pendatang. Agama tersebut antara lain : hindu, budha, dan islam. Karena kebudayaan jawa lebih mengental dengan agama islam maka percampuran ini disebut dengan islam kejawen, tetapi agama hindu-budha juga ikut berperan dalam islam kejawen walaupun tidak begitu mengental seperti islam.
Keadaan budaya jawa sebelum hindu-budha sangat kental dengan tradisi animisme-dinamisme, dimana ruh nenek moyang mereka dijadikan sebagai dewa yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi pendukungnya. Seperti upacara selamatan, ruh nenek moyang mereka menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Sarana upacaranya, seperti seni pewayangan dan gamelan yang digunakan untuk mendatangkan ruh nenek moyang.
Sedang kebudayaan jawa di masa hindu-budha memberikan konsep baru dengan mentransformasikan keyakinan masyarakat akan kekuatan pada benda-benda dan ruh menuju pada kekuatan figur-figur tertentu, yakni raja-raja. Raja dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Dari konsep ini munculah budaya untuk patuh pada raja.

Oleh karena itu, perkembangan agama islam di Jawa menghadapi 2 lingkungan kebudayaan. Pertama, budaya masyarakat sebelum datangnya hindu-budha yang masih kental dengan pengaruh animisme-dinamisme. Kedua, kebudayaan kerajaan dimana raja sangat berkuasa dalam masa itu. Sehingga penyebaran islam harus merangkak dari kalangan bawah yang pada akhirnya melahirkan komunitas baru yaiu pesantren. Karena agama islam mengajarkan akan persamaan bahwa setiap manusia itu sama, dan berbeda sekali dengan corak hindu-budha yang dibatasi dengan kasta maka ajaran islam cepat dan mudah diterima oleh kalangan kelompok tersebut.
Sehingga tampak jelas karakteristik yang menonjol dari budaya jawa adalah keraton-sentris  yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme dan juga budaya jawa yang penuh dengan simbol-simbol bercorak mistik.
Zaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar. Di mulai dari transformasi keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Transformasi ini didukung oleh raja yang juga ikut memeluk Islam. Penyebar Islam di Jawa adalah Walisongo, sebagai juru dakwah dan guru tarekat sehingga corak Islam Jawa adalah bercorak tasawuf.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sekalipun telah mengalami “transformasi keyakinan” dari animisme-dinamisme, hindu-budha, hingga ke Islam yang bercorak tasawuf, sebagian besar masyarakat pedalaman masih sangat kental dengan keyakinan bersifat mistik yang ghaib.
Seperti yang ada di parangtritis, adalah suatu tempat yang menghadap ke kerajaan Ratu Kidul, ratu makhluk halus, yang disebut-sebut sebagai pasangan spiritual raja-raja Jawa. Fokus kekuatan ini (parangtritis) selalu menerima sesaji tahunan dari keraton Jawa Tengah.
            Dari kepercayaan yang demikian, disamping sesaji dan selamatan, terdapat upaya lain yakni “pemagaran” keraton dengan pusaka yang dipercaya dapat menolak bahaya. “Pemagaran” dilakukan terutama pada saat krisis, seperti pada saat terjadi wabah penyakit (pageblug), kelaparan, atau musibah lain.
            Adapun mengenai sistem keyakinan Islam Jawi (Islam Kejawen) juga sama dengan islam lainnya, yaitu percaya akan adanya Allah SWT, Rasulullah, dan konsep lainnya. Pada saat yang sama, orang Jawa juga percaya adanya dewa-dewa, makhluk halus, dan roh-roh nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan seperti ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.
            Konsep agama Jawa mengenai Tuhan Yang Maha Esa sangat mendalam, hal ini dituangkan dalam istilah sebutan Gusti Allah ingkang maha kuwaos, yaitu tuhan adalah sang pencipta. Di samping percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, juga memandang Nabi Muhammad sebagai orang yang sangat dekat dengan Allah. Hampir setiap ritual, disamping menyebut nama Allah juga menyebut Nabi Muhammad kanjeng Nabi ingkang sumare ing siti Medinah.
            Keyakinan lain yang kemudian berkembang dan diyakini sebagai bagian dari sistem keyakinan mereka, yaitu suatu keyakinan terpendam mengenai ratu adil yang akan tiba membawa keadilan dan keteraturan di muka bumi ini. Hal lain yang tak juga kalah penting adalah, adanya kepercayaan terhadap para dewa yang biasanya muncul dalam pentas cerita wayang yang berfungsi memberi pesan pendidikan dan moral.    Berbagai aktivitas ritual yang dijalani oleh islam kejawen biasanya mendasarkan pada siklus kehidupan. Dimulai dari kandungan, dengan ritual selametan mitoni yang dilakukan ketika kandungan berumur tujuh tahun. Kemudian selametan puput puser yaitu upacara pemberian nama dilanjut dengan selametan kekah, selametan tedhak siten atau  upacara menyentuh tanah, upacara sunatan (ngislamaken), setelah itu diikuti dengan upacara kematian yang pelaksanaannya pada hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan keseribu hari dari kematiannya. Selain itu, terdapat upacara tahunan, seperti muludan, rejaban, nisfu sya’ban, yaitu selamatan barokah sampai larut malam, upacara nyadran, yaitu pada akhir bulan ruwah.
            Seperti yang terjadi di Desa Pekuncen, sebuah desa yang berada di Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Desa tersebut merupakan wilayah yang didiami oleh masyarakat Islam Kejawen, dan seorang Kyai Bonokeling yang diyakini sebagai leluhur atau tokoh spiritual yang diagung-agungkan dan dianggap sebagai sang penyelamat dalam segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Menurut beberapa sumber, pekuncen adalah desa yang suci. Konon, pada jaman dahulu di sekitar wilayah Desa Pakuncen sangat jauh dari aktivitas kemaksiatan. Disamping itu, hiburan pun tak dapat dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat tersebut sehingga oleh seseorang yaitu Kyai Bonokeling (orang yang pertama kali mendirikan Desa Pekuncen) memberinya nama Desa Pekuncen yaitu desa yang penuh dengan kesucian.
Menurut kyai kunci Mejasari (dia sebagai tokoh panutan hingga saat ini/tahun 2007), bahwa kyai kunci menganggap Bonokeling sebagai Sang Maha Kuasa, diatasnya sudah tidak ada lagi penguasa lain selain Bonokeling (ungkapan ini disampaikan tegas dan lantang) :
“Doa slamet nyuwun kalian sinten kyai? Ya marang Kang Maha Kuasa. Kang Maha Kuasa Sinten kyai? Ya Mbah Bonokeling. Mawi sak nduwure mbah Bonokeling sinten? Ora ana! Tangane kyai Mejasari aweh isyarat kaya wong dada lan suarane tegas”