Ijtihad

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 07.03

Pendahuluan

         Pemasalahan yang timbul di masa Rasulullah selalu terpecahkan, berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh kaum muslim pada saat itu dapat ditanyakan kepada Rasulullah. Akan tetapiSeiring dengan berjalannya waktu, setelah wafatnya rasulullah berbagai macam permasalahan bermunculan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah.
         Ijtihad muncul sebagai solusi dari permasalhan yang dihadapi,dimana ijtihad berasal dari suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an ataupun As-sunnah sehingga kita memerlukan suatu solusi untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Apabila ijtihad dihentikan atau tidak dibenarkan akan dapat dipastikan pembahasan pun akan terhenti, karena kita hanya terpatok dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah padahal kita mempunyai segudang masalah yang harus diselesaikan. 

 Pembahasan
A.     Ijtihad.
1.      Pengertian Ijtihad.
Ijtihad berasal dari kata                         artinya ialah bersungguh-sungguh, rajin, giat. Menurut bahasa ijtihad adalah berusaha dengan sungguh-sungguh.
Sedang menurut ulama ushul fikh terdapat berbagai macam pendapat mengenai ijtihad, seperti Imam al-Ghazali, yang diikuti juga oleh khudloiry (Dr. wahbah 591) mendefinisikan ijtihad dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui tentang hukum-hukum syariat”[1].
Menurut  al-Baidawi (w 685 H), ahli ushul fikh dari kalangan syafi’iyah mendefinisikan sebagai “pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hokum-hukum syara’” [2].

2.      Kedudukan dan fungsi Ijtihad.
·        Kedudukan Ijtihad.
Ketetapan adanya ijtihad dapat diketahui secara kontekstual maupun tekstual dari ajaran-ajaran agama, yakni alquran dan as-sunnah. Seperti dalam QS. Ar-ra’du:3



…..sesungguhnya di dalam semua itu berarti ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
·        Fungsi Ijtihad.
Ijtihad berfungsi untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai derajat mutawatir. Seperti hadis ahad. Ijtihad juga digunakan sebagai cara untuk memahami hadis yang tidak jelas pemahamannya. Dalam hal ini ijtihad juga berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam alquran maupun as-sunnah.

3.      Macam-macam ijtihad.
·        Ijtihad Fardi.
Ijtihad fardi ialah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid.
Contoh: ijtihad yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.
·        Ijtihad Jama’i.
Merupakan kesepakatan para mujtahid setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu.
Dalam sejarah ushul fikh ijtihad jama’i hanya melibatkan ulama dalam satu disiplin ilmu saja yaitu ushul fikh. Namun, dalam perkembangannya ijtihad ini bukan hanya satu disiplin ilmu saja akan tetapi melibatkan berbagai macam disiplin ilmu.

4.      Mujtahid.
Mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad.
Syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid yaitu:
o       Memiliki pengetahuan yang luas mengenai Al-Qur’an dan dapat memahaminya.
o       Memiliki pengetahuan tentang sunnah Nabi.
o       Mengetahui pendapat mujtahid terdahulu (seperti : Imam Hanafi, Imam maliki, Imam Syafi’I, dan Imam  Hambali).
o       Menguasai bahasa arab dengan baik.
o       Menguasai ushul fikh dengan baik.
o       Mempunyai metodelogi berpikir
o       Mengetahui maqasid al-syari’ah. Karena ini adalah tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan ijtihad.


5.      Tingkatan Mujtahid.
·        Mujtahid Mustaqil.
Merupakan tingkatan tertinggi dalam mujtahid. Mereka terbebas dari bertaqlid kepada mujtahid lain, dalam berijtihad mereka membentuk hukum islam.
Contoh: imam yang empat yaitu Imam Abu Hanafiah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal.
·        Mujtahid Muntasib.
Merupakan mujtahid dalam masalah ushul fikh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu, akan tetapi tetap berpegang pada salah satu mujtahid mustaqil.
Contoh: Abu Zahrah (murid Abu Hanifah), al Muzanni (kalangan syafi’iyah).
·        Mujtahid fi al-Mazhab.
Tingkatan mujtahid yang dalam ushul fikh dan furu’ bertaqlid kepada imam mujtahid tertentu. Ijtihad ini mengistimbatkan hukum pada masalah-masalah yang tidak ditemukan dalam pembahasan imam mujtahid yang menjadi panutan.
Contoh: Abu Hasan al Karkhi, Ibnu Abi Hamid al Asfiani.
·        Mujtahid fi at Tarjih.
Mujtahid yang kegiatannya bukan mengistimbatkan hukum tapi terbatas membandingkan mazhab atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat yang ada.

6.      Ijtihad dimasa sekarang
Ijtihad digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat yang belum ada dasar hukumnya baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Sehingga ijtihad dimasa sekarang harus di sesuaikan dengan kondisi zaman, asalkan tidak keluar dari islam. Jadi kita tidak harus terpatok yang sudah ada, agar islam tidak ortodok dan tidak ketinggalan zaman.
jika ijtihad terhenti atau tidak diperbolehkan, maka hukum islampun akan terhenti pula dan akan tertinggal oleh kemajuan zaman maupun masyarakat itu sendiri. Begitu sebaliknya, jika ijtihad terus berjalan secara continue maka hukum islam pun akan maju sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan dari masyarakat.

B.     Taqlid.
1.      Pengertian taqlid.
Taqlid menurut ulama ushul fikh, yaitu:



Penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu.
Kesimpulannya yaitu bahwa taqlid merupakan menerima perkataan orang lain akan tetapi ia tidak mengetahui dasarnya apakah ada dalam alquran atau pun hadis.

2.      Hukum Taqlid.
Hukum Taqlid terdiri dari tiga yaitu:
a.  Taqlid yang haram.
Taqlid ini dibagi menjadi tiga ketegori:
*      Taqlid yang semata-mata mengikuti adapt kebiasaan atau pendapat nenek moyang.
*      Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya
Contoh: orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan berhala tersebut.
*      Taqlid kepada pendapat orang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa pendapat tersebut salah.

b.  Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid ini dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat untuk memecahkan persoalan, seperti orang awam yang taqlid kepada ulama selama orang itu belum mendapatkan dasar dari perkataan ulama tersebut.
Namun akan segera meninggalkan perkataan itu jika ternyata berlawanan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
c.   Taqlid yang diwajibkan.
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah.

C.     Ittiba’.
1.      pengertian ittiba’
Menurut ulama ushl fikh ittiba’ yaitu mengikuti semua yang diperintahkan, dilarang, dan dibenarkan oleh Rasulullah, / menerima pendapat seseorang dimana orang yang menerima tersebut mengetahui dari mana asal pendapat itu.

2.      Macam-macam ittiba’
a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya
b.      Ittiba’ selain kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat terhadap ittiba selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Imam Ahmad bin Hambal ittiba’ hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan sahabatnya saja. Hal ini terfahami dari perkataan beliau kepada Abu daud, “ittiba’ itu ialah seorang yang mengikuti Nabi SAW dan para sahabatnya.
      Pendapat lain ada yang menyebutkan dibolehkannya berittiba’ kepada ulama (ulama sebagai pewaris para Nabi). Dasarnya QS. An-Nahl: 43.

Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.

D.    Fatwa.
1.      pengertian Fatwa.
Fatwa dalam bahasa arab berarti jawaban pertanyaan atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum. Maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.
Contoh: bila A seorang mujtahid dihadapkan kepada persoalan nikah tanpa walli, kemudian si A memikirkannya dengan menggunakan dalil-dalil syar’i atau dengan menggunakan cara-cara mengistimbatkan hukum, kemudian mengambil kesimpulan bahwa tidak sah nikah tanpa wali.
Kesimpulan ketetapan hukum yang dikemukakan oleh si A disebut dengan fatwa, sedang si A yang berfatwa disebut mufti.

2.      Syarat-syarat seorang mufti.
Mufti merupakan panutan masyarakat kaum muslimin, oleh karena itu disamping ia ahli alquran dan hadis, ia juga memiliki budi pekerti yang mulia.
Sehubungan dengan ini Imam Ahmad bin hambal mengemukakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang mufti:
Ø      Mufti memberi fatwa dengan niat karrena Allah SWT.
Ø      Mufti haruslah orang yang berwibawa, sabar, dapat menguasai dirinya, tidak cepat marah dan tidak sombong.
Ø      Memiliki kehidupan yang cukup.
Ø      Harus mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan hukumnya harus diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat.


3.      Kewajiban seorang Mufti
Imam Ahmad bin Hambal juga membagi tiga macam kewajiban bagi seorang mufti:
§         Menyampaikan fatwa benar-benar sesuai dengan kehendak alquran dan hadis.
§         Memohon petunjuk dan pertolongan Allah SWT, setelah itu ia baru membahas permasalahan yang dihadapi dengan meneliti dalam alquran atau hadis
§         Berupaya menetapkan hukum semata-mata guna mencari Ridha Allah dengan mengendalikan hawa nafsu, sehingga dalam ia berfatwa bukan untuk kepentingan politik maupun yang lainnya.

E.     Talfiq.
Talfiq dari bahasa arab yaitu menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Seperti perkataan
Artinya  mempertemukan dua tepi kain yang kemudian menjahitnya. Dan perkataan “talfiiqil hadiist”, berarti menghiasi suatu cerita dengan yang salah atau bohong[3].Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambil dari berbagai macam mazhab[4].
      Talfiq ini dibolehkan oleh agama, selama tujuan melakukan talfiq digunakan semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar.
Pada hakikatnya talfiq itu dasarnya adalah niat. Jika niatnya semata-mata untuk mencari kebenaran maka hal itu tidak bertentangan denngan agama islam, dan sebaliknya jika talfiq itu bukan untuk mencari ridha Allah, maka yang demikian itu tidak sesuai dengan ajaran agama.
Penutup

Permasalahan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah haruslah dicari solusinya dengan jalan ijtihad. Akan tetapi tidak sembarang orang untuk menetapkan suatu ketetapan hukum, ia haruslah orang yang memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
Hasil-hasil dari ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid membentuk sikap kaum muslim untuk taqlid, ittiba, berfatwa maupun bertalfiq. 
Daftar Pustaka

Efendi, Satria. Zein, M. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media

Muchtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh Jilid 2. Yogyakarta: CV Imaji Cipta

Daly, Peunoh. Syihab, Quraisy. 1986. Ushul Fiqh Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode Penggalian Hukuk Islam). Jakarta: Departemen Agama


[1] Kamal, Muchtar, dkk. Ushul Fiqh Jilid 2. (Yogyakarta: CV Imaji Cipta. 1995) hal. 116
[2] Satria, Efendi. M. Zein. Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenada Media. 2005)
[3] Kamal, Muchtar, dkk. Ushul Fiqh Jilid 2. (Yogyakarta: CV Imaji Cipta. 1995) hal. 183
[4] Ibid. hal