HADIS DHO’IF MACAM-MACAM DAN HUKUMNYA

♠ Posted by IMM Tarbiyah in at 06.16

BAB 1
PENDAHULUAN

Sering kali kita menemukan para penuntut ilmu,bahkan para ulama menyatakan bahwa hadits dhoif bisa diamalkan dalam hal fadho’il amali (keutamaan berbuat amal kebajikan). Hingga kemudian statemen ini menjadi sebuah kaidah agama dan menjadi sesuatu yang harus diakui bagi mereka. Karenanya kami (selaku penyusun) merasa perlu menjelaskan masalah ini dan mengemukakan pelbagai pendapat  di dalamnya.
Hadits merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran islam secara nyata dan ideal. Ia merupakan manifestasi dari segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad dalam menterjemahkan ajaran-ajaran Al-Qur;an sesuai dengan realitas masyarakat  Arab pada saat itu. Oleh karenanya, haditspun memegang peranan penting dalam pengajaran dan penyebaran agama Islam.
Pada lazimnya perjalanan sebuah riwayat adalah dari sahabat ke tabi’in,kemudian oleh tabi’in diteruskan kepada tabi’ut  tabi’in ,kemudian begitu seterusnya yang kemudian sampai pada rawi terahir yang skaligus  menjadi mukharrij. Makin jauh masa kehidupan mukharrij dengan masa kehidupan Nabi, makin banyak rawi yang menjadi sandaran riwayatnya.
Persoalannya, setelah sebuah riwayat atau hadits mengalami sejarah yang panjang  dan pahit karena digunakan dalam berbagai kepentingan, karena banyak hadits buatan orang dikatan sebagai hadits yang berasal dari Nabi. Kondisi ini membingungkan dan menyulitkan dalm memisahkan mana yang berasal dari Nabi dan mana yang bukan (palsu). Itu merupakan suatu alasan  mengapa para ulama pada abad kedua hijriyah mulai brfikir bagaimana memisahkan hadits yang “asli” dan yang “palsu”.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian
Hadits dho’if secara bahasa adalah lemah lawan dari qawi(kuat), hadits dho’if disebut juga hadis yang mardud ( ditolak ).  Hadits dho’if menurut istilah  adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat  hadits shohih atau hadits hasan, atau tidak terdapat sifat-sifat hadits shohih atau hadits hasan,atau tidak sampai tingkatan hadits hasan.
Ulama Hadits telah ada yang membagi hadits dhoif  menjadi 42 macam (sebagaimana yang dilakukan oleh al-Iraqy), bahkan ada yang membaginya sampai 129 macam, namun disini hanya akan dibahas beberapa macam saja, dengan melihat dari dua segi. Yakni dari segi gugurnya atau terputusnya sanad dan terdapatnya cacat pada rawi.

Adapun sebab-sebab hadits dho’if itu ada dua :
1.  Gugurnya rawi dalam sanandnya (ketidak bersambungan sanadnya).
2.  Terdapatnya cacat pada rawi baik dari segi keadilan maupun kedhobitannya.

B. Macam-macam hadits dho’if  berdasarkan klasifikasinya.                                                            1.  Klasifikasi hadits dho’if  berdasarkan gugurnya rawi dalam sanadnya.
a.Hadits mursal
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi tanpa menyebutkan nama sahabat, atau hadits yang gugur rawi shahabinya.
Contoh    
عن زياد السهمي قال نهي رسول لله صلي الله عليه وسلم, ان تسترضع الحمقي ( اخرجه ابو داود, وهو مرسل وليس لزياد صحبة)
 Dari Ziyad al Sahmi dia berkata, “ Rasululloh SAW. telah melarang wanita-wanita bodoh sebagai penyusu. ( H.R. Abu Dawud , hadis tersebut adalah mursal, sebab Zian al-Sahmy bukanlah sahabat [1]).

b. Hadits mungqoti
Adalah hadits yang gugur rawi sebelum sahabat , satu atau dua orang dalam keadaan tidak berturut-turut.
Contoh :
قَالَ النَّسائي أخبرنا محمدنا محمدبْنَ سلمة قال حدثنا إبن وهب عن يحي بن عبدالله بن سالم عن موسى بْن عقبة عن عبدالله بن علي عن الحسن ابن علي قال علّمني رسول الله صلى الله عليه وسلم هؤلاء الكلمات في الوتر قال اللهم اهدني فيمن هديت, وباركلي فيما أعطيت, وتولّني فيمن توليت,وقني شرّما قضيت,فإنّك تقضى ولايقضي عليك,وإنّه لايذل من واليت, تباركت ربّنا وتعاليت رواه الخمسة. وزاد الطبرانيُّ والبيهقرّ:ولايعز من عاديت. وزاد النسئى من وجه اخر في اخره وصلى الله تعالى على النّبى.

Berkata Nasa’iy, telah memberitahukan pada kami Muhammad bin Salamah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab, dari yahya bin Abdillah bin salim, dari Musa bin Uqbah, Dari Abdullah bin Ali, dari al-Hasan bin Ali, ia berkata,” Rasululoh telah mengajarkan kepada saya beberapa kalimat do’a dalam sholat witir, yakni artinya “ Ya Alloh, tunjukilah aku pada orang-orang yang telah kau tunjuki, berkatilah apa yang telah kau berikan kepadaku, masukanlah aku pada kelompok yang telah kau beri kekuasaan, peliharalah aku dari sejahat-jahat ketentuan yang kau tentukan, sungguh kaulah yang memberi hukuman, tak ada seorangpun yang bisa menghukumiMu, tidak akan menjadi hina orang-orang yang telah kau beri pertolongan, Maha suci Tuhan yang Maha tinggi[2]
Sanad hadits tersebut sebenarnya terputus, menurut Ibnu Hajar yang dikutip oleh Muhammad Muhayyidin Abdul Hamid, karena Abdullah bin Ali tidak mendengar hadits tersebut dari Hasan bin Ali, yang merupakan pamannya sendiri.

c. Hadits mu’allaq
Adalah hadits yang diriwayatkan shabat dari Rosululloh , tanpa menyebut rawi-rawi dibawah sahabat, jadi gugur rawinya dari awal sanad secara berturut-turut. Contoh : Bukhori meriwayatkan dari al-Majisyun, dari Abdullah bin Fadhl, dari Abu Salamah dari Abu Hurairoh r.a dari Nabi Saw. bersabda:
لاتفا ضلوا بين الانبياء
“Janganlah kalian melebih- lebihkan diantara para nabi”[3].
Pada hadits ini, Bukhori tidah pernah bertemu dengan al-Majisyun.
d. Hadits mu’dhal
 Adalah hadits yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan. Contohnya diriwayatkan oleh Al-Hakim  dalam kitab Ma’rifat  Ulumul Hadits dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwa dia menyampaikan , bahwa Abu Hurairoh berkata,  “Rasululoh bersabda[4],
لِلْمُلُوْكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَاتُهُ بِالْمَعْرُوْفِ
“Seorang hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik”.

Al-Hakim berkata, ”hadits ini mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatho”. Hadits ini didapati bersambung sanadnya pada kitab selain Al-Muwatha’, diriwayatkan dari Malil bin Anas dari Muhammad bin Ajlan, dari bapaknya dari Abu Hurairoh.Hadits ini mu’dhal karena gugurnya dua orang rawi, karena urutan sanad sebelumnya adalah dari Malik bin Anas dari Muhammad bin A’jlan, dari bapaknya,dari Abu Hurairoh.Jadi hadits ini telah gugur dua orang rawinya secara berturut-turut[5].

e. Hadits mudallas
Adalah hadits yang sepintas sanadnya kelihatan bagus , tetapi sebenarnya hadits itu mengandung cacat , setelah diteliti (yang hanya diketahu oleh orang yang ahli dalam bidang ilmu hadits)[6]. Contohnya hadits Ibnu Umar :
قال رسولل الله ص.م. اذا نعس احدكم فى مجلسه يوم الجمعة فليتحول
Rasulullah SAW. Bersabda: Bila salah seorang dari kamu mengantuk ditempat duduknya pada hari jum’at hendaklah ia bergeser ketempat lain.

2. Klasifikasi hadits dho’if berdasarkan adanya cacat pada rawi.
a. Hadits maudhu’
Adalah hadits yang dibuat oleh seorang  pendusta, tetapi hadits ciptaanya itu kemudian  dinisbatkan kepada Nabi secara dusta dan palsu baik secara sengaja maupun tidak. Ciri hadits maudhu’ dari segi ma’na bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir, ijma’ dan logika yang sehat, dan dari segi lafadznya susunan kalimatnya tidak baik[7]. Contohnya adalah hadits yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan al-Qur’an yaitu,
ولد الزنا لايدخل الجنة الى سبعة ا بناء
Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.

Ma’na hadits ini sangat bertentangan dengan ayat al-Qur’an surat Al-An’am ayat 164.
ولاتزر وازرة وزراخرى
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

b. Hadits matruk
Adalah hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta. Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum pernah dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadits.Namun seorang rawi yang tertuduh dusta bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh bisa diampuni dan dapat diterima periwayatan haditsnya[8]. Contoh    hadits yang diriwayatkan oleh ibnu ‘Adiy :
حدثنا يعقوب بن عا صم, حدثنا محمدبن عمران, حدثنا عيسى بن زيا د, حدثنا عبد الرحيم بن زيدعن ابيه عن سعدبن المسيب, عن عمربن الخطا ب قا ل : قا ل رسول الله ص.م. لولا النساء لعبدالله حقا
Telah bercerita kepadaku Ya’qub bin Sufyan bin Asim, telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin ‘Imran, telah mengabarkan padaku Isa bin Ziyad, telah menceritakan padaku Abdur rahim bin Zaid dari ayahnya, dari Sa’id bin Musayyab, dari Umar bin Khotob r.a. berkata; Rasulullah Saw. bersabda : Andaikata ( di dunia ini ) tak ada wanita, tentu Alloh disembah dengan sungguh-sungguh.

Ibnu Adiy menjelaskan bahwa dua perawi yaitu Abdurrahim dan ayahnya Zaid adalah orang yang matrukul hadits, karenanya hadits yang diriwayatkan melalui sanad mereka disebut hadits matruk.

c.Hadits munkar
Adalah hadits yang pada sanadnya terdapat rawi yang buruk kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya dalam meriwayatkan hadits atau bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang telah dikenal memiliki sifat tsiqqoh[9]. Contohnya hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim
عن طريق حبيب بن حبيب اخ حمزة بن حبيب زيا ت المقري عن ابن اسحا ق العيزا ر بن حريث عن ابن عبا س, قا ل رسول الله ص.م  من اقا م الصلا ة واتي الزكا ة وحج وصا م وقرى الضيف دخل الجنة.
Dari Hubaib bin Habib saudaranya Hamzah bin Habib Az Zayyat Al Muqriy dari Ibnu Ishaq Al Izar  bin Harits dari Ibnu Abbas r.a. Rasullulloh Saw bersabda: Barang siapa yang mengerjakan sholat, membayar zakat, menunaikan haji, berpuasa, dan menjamu tamu akan masuk surga.

d. Hadits maqlub
Adalah hadits  yang terbalik susunan sanad atau matannya yaitu mendahulukan bagian yang  seharusnya diahir dan begitu juga sebaliknya.
Contohnya :
عَنْ أبي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم إذا سَجَدَ أَحْدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكِ الْبَعيْرِ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتِهِ.(أخرجه الثلاثة)
      “ apabila salah seorang kamu sujud, janganlah menderum seperti    menderumnya seekor       unta, melainkan hendaknya meletakan kedua tangannya sebelum meletakan kedua lututnya”. (HR. Turmudzi )
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Nasa’I dengan tanpa menyebutkan kalimat “wal yadha’  yadaihi qobla rukbataihi”. Menurut Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Hakim, hadis tersebut bernilai hasan.
Hadis tersebut menurut riwayat Ibnu Hibban dan al-Thahawi sesuai dengan persyaratan riwayat muslim, dari hadis Wail bin Hujr, dengan menggunakan kalimat berikut:   رايت رسول الله ص.م. اذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه واذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه

"Aku telah melihat Rasululloh SAW apabila sujud beliau meletakan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit (dari sujudnya) beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
Ibnu Qasim menjelaskan dalam kitabnya Zaadu Al-Ma’aad, bahwa riwayat yang menggunakan susunan kalimat “wal yadha’ yadaihi qobla rukbataihi” (hendaknya meletakan kedua tangannya sebelum kedua lututnya ) adalah maqlub, atau diubah oleh sebagian rawi-rawinya, bunyi hadis sebenarnya adalah “wal yadha’ rukbataihi qobla yadaihi” . dengan demikian jelas sebagian rawi mendahulukan kata “yadaihi” dan mengahirkan kata rukbataihi.

e. Hadits  mudraj
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi dengan mengubah susunan sanad, atau menambahkan kalimat yang bukan berasal dari Rosul dalam matan yang diriwayatkannya[10]. Contohnya seperti dalam hadits Aisyah r.a. yang berbunyi
كان النبي صلى الله عليه وسلم يتحنّث في حراء و هو التعبّد الليالى ذوات العدد
“ Bahwasannya Nabi Saw. bertahanus dalam gua ( hiro ), yaitu beribadah beberapa malam yang berbilang-bilang.”
Dalam hadits tersebut terdapat tambahan kata “al ta’abbudu” ( beribadah ), dan kata inilah yang menjadikan hadis tersebut mudraj dalam matannya.

f. Hadits muallal
Adalah hadits yang kelihatannya tidak ada cacat  baik dalam sanad atau matannya, tetapi setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat cacat didalamnya[11].  Contohnya :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ الله عَنهُ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتِمَهُ
(أَخْرَاجَهُ الأرْ بَعَهُ وَهُوَ مَعْلُوْلٌ)

Dari Anas bin Malik r.a dia berkata, adalah  Rasululloh Saw. jika hendak ke kamar kecil beliau melepas cincinnya, ( Hadis diriwayatkan oleh al-arba’ah ).

Hadits adalah muallal, mengingat hadits ini diterima dari jalan ibnu juraij dari al-Zuhry, dari Anas, padahal Ibnu Juraij tidak mendengar hadits ini dari al-Zuhriy tetapi mendengarnya dari Ziyad bin Sa’ad dari al-Zuhriy.

g. Hadits syadz
 Adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawiyang bisa diterima, hanya saja riwayatnya itu bertentangan dengan riwayat rawi yang terkenal lebih terpercaya[12]. Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Nubaisyah al Hudzali dia berkata Rasululloh Saw. baersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب
“ Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum.”

Hadits tersebut dari semua riwayat yang ada bunyinya seperti itu, tetapi, menurut riwayat Musa bin Ulaiyah bin Rabah, dari ayahnya, dari Uqbah bin Amir terdapat tambahan kalimat “ yaumu arafata “ ( hari arafah ). Dengan demikian, hadits riwayat Musa adalah syadz karena berbeda dengan riwayat para jama’ah, rawi-rawi yang lain, sebab adanya penambahan kalimat tersebut.

B.     Hukum hadits dho’if.
Dalam mensikapi hadits dho’if  untuk dijadikan sumber hukum atau dasar pijakan suatu amalan , ulama hadits terkelompok menjadi tiga, yakni:
Kelompok pertama
Menyatakan dengan tegas bahwa hadits dho’if  tidak boleh dijadikan dasar pijakan dalam segala amalan, baik yang sering disebut amalan fadhai’il amali  maupun yang lain, apalagi hal-hal yang berhubungan dengan hukum halal haram.Diantara yang berpendapat demikian ialah al-Bukhori, Muslim, Abu Bakar al-Arobiy dan Ibnu Hazm.
Kelompok kedua
Berpendapat bahwa hadits dho’if  boleh diamalkan secara mutlaq. Pendapat seperti ini sering didakwakan sebagai pendapat dari  Ahmad bin Hambal dan muridnya, yakni Abu Dawud dikarenakan kedua ulama hadits ini berpendapat bahwa hadits dho’if lebih baik dari pada penggunaan akal perseorangan. Namun menurut Ibnu Hajar boleh menggunakan hadis dhoif dengan syarat :
·  Hadis dhoif itu mengenai keutamaan-keutamaan amal.
·  Kualitas kedhoifannya tidak terlalu parah, seperti hadis-hadis dhoif yang diriwayatkan oleh orang-orang pendusta, tertuduh berbuat dusta, dan yang sangat jelek kesalahannya.
·  Hadis dhoif itu harus bersumber pada dalil yang bisa diamalkan.
·  Pada waktu mengamalkan hadis dhoif tidak boleh mempercayai secara penuh kepastian  hadis itu, melainkan harus dengan niat ikhtiyat (berhati-hati dalam agama)
Kelompok ketiga
Berpendapat boleh menggunakan hadits dho’if  untuk urusan amal yang disebut dengan  fadha’il al-a’mal , ataupun nasehat –nasehat dengan berbagai persyaratan. Diantara yang berpendapat demikian ialah Ibnu Hajar al-Asqolaniy, al- ‘Iraqiy, al-Nawawiy, Zakariya al-Anshariy, al-Shuyuthy, Ibnu Hajar al-Makkiy.


                                                   BAB III 
PENUTUP

A.     Kesimpulan.
Hadits dho’if adalah hadits yang lemah dan juga bisa dikatakan mardud ( tertolak ), karena hadits dho’if adalah hadits yang  tidak memenuhi syarat-syarat  hadits hasan atau shohih, dan tidak terdapat sifat-sifat hadis hasan atau shohih, atau kehilangan satu syarat atau lebih dari hadis hasan atau shohih. Hadits dhoif banyak macamnya, dan diklsifikasikan berdasarkan adanya cacat pada rawi, baik karena kedhobitannya maupun keadilannya, dan berdasarkan ketidak bersambungannya sanadnya dikarenakan seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain. Hadits dho’if  yang berdasarkan adanya cacat pada rawi diantaranya: hadits maudhu’, munkar, matruk, maqlub, mudraj, muallal, syadz, dan sebenarnya masih banyak yang lain, namun, karena keterbatasan pemakalh sehingga tidak dapat menyebutkan dan menjelaskan semuanya. Hadits dhoif berdasarkan ketidak sambungannya dalam sanad diantaranya: hadits mursal, mungqoti’, mu’dhal, mudallas, muallaq. Dan sebenarnya juga masih banyak hadits dhoif yang belum disebutkan, tetapi lagi-lagi karena keterbatasan pemakalah sehingga tidak dapat menyebutkan dan menjelasakan semuanya.Mengenai hukum  hadits dhoif  dapat dijadikan hujjah atau tidak sangat bervariasi pendapat dari para ulama, ada yang membolehkan dan ada yang dengan tegas melarangnya, tetapi masing-masing pendapat mempunya dasar dan argumen yang kuat.

B.     Kritik dan saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, mungkin memang masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan,isi maupun penyampaiannya, dan kurangnya refrensi dan pengetahuan pemakalah, untuk itu pemakalah mohon saran dan kritiknya, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih dan maaf atas segala kekurangan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dailamy, Muhammad.2008. Ilmu Hadits . Purwokerto:
Sholeh, Umar. Diktat, Ilmu Musthalahul Hadits
Solahudin, Muhammad Agus. Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
 


[1] M.Dailamy, Ilmu Hadits, hal. 170.
[2] Ibid, hal. 177.
[3] Ibid, hal. 151.
[4] Ibid. hal. 152.
sIbid.
[6] Ibid
[7] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi. Ulumul Hadis. hal. 149.
[8] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi. Ulumul Hadis. hal. 150.
[9] M. Dailamy. Ilmu Hadis. hal. 170.
[10] Muhammad Alawi Al-Maliki.Ilmu Ushul Hadis.  hal. 126.
[11] M. Dailamy. Ilmu Hadis. hal. 171.
[12] M.Dailamy. Ilmu Hadis. hal. 171