♠ Posted by IMM Tarbiyah in Kuliah Umum at 06.02
A. PENDAHULUAN
Puisi atau khususnya sajak bisa dikatakan
sebagai sebuah ungkapan atau curahan isi hati seseorang yang dituangkan dalam
bentuk kata-kata maupun bahasa yang memiliki daya estetis dan keindahan. Jika
dilihat sekilas untuk membuat puisi terlihat mudah, tapi tidak semua orang
tidak bisa membuatnya yang sesuai dengan kaidah dan unsur-unsur puisi. Karena
membuat puisi diperlukan ketrampilan khusus dan juga butuh proses.
Selain itu, diperlukan aturan-aturan dan
unsure-unsur yang membuat puisi dapat membangkitkan imajinasi pembaca, agar apa
yang disampaikan oleh pembuat puisi bisa membekas pada perasaan pembacanya,
yaitu menggunakan unsure-unsur puisi seperti diksi, bahasa kiasan, citraan dan
sarana retorika.
Dan setiap penyair memiliki cirri khas
tersendiri dalam membuat puisi. Dan dimakalah ini penulis akan menganalisis
beberapa sajak-sajak cinta karya Abdul Wachid B.S yang berjudul “Sajak Mas Jati
untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk Mas Jati” dengan teori dan metode
strukturalisme.
B. TEORI DAN METODE
1. Teori
Teori berasal dari kata theoria (bahasa latin).
Secara etimologis teori berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada
tataran yang lebih luas, dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti
perangkat pengertian, konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah
teruji kebenarannya. Teori tertentu lahir melalui ilmu tertentu. Dengan kalimat
lain, tujuan akhir suatu ilmu adalah melahirkan sebuah teori. Meskipun
demikian, sebuah teori, dengan tingkat keumumannya yang tinggi dapat digunakan
untuk memahami sejumlah disiplin yang berbeda. Strukturalisme, misalnya, dapat
menganalisis ilmu humaniora, ilmu sosial, termasuk ilmu alamiah.[1]
Namun disini
penulis akan membahas tentang teori sastra. Teori sastra mengacu pada
seperangkat pengertian, konsep, gejala-gejala, dan hukum-hukum yang telah
teruji kebenaranya. Sastra sendiri adalah suatu produk budaya manusia yang
imajinatif, mempunyai nilai estetis, dan disampaikan dengan media bahasa.
Wellek dan Warren (1956), menjelaskan bahwa teori sastra merupakan cabang dari
ilmu sastra yang di dalamnya juga di isi oleh sejarah sastra dan kritik sastra,
dan apa yang disebut dengan teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan
kriteria yang dapat diacu dan di jadikan telaah dalam bidang sastra. Dengan
mendasarkan pada teori sebagai seperangkat konsep-konsep yang telah teruji
kebenarannya, maka analisis terhadap karya sastra mengharuskan untuk
menggunakan teori dan pendekatan sastra, karena lahirnya sebuah teori itu telah
di dahului dengan serangkaian penelitian yang panjang terhadap karya sastra
yang telah teruji kebenarannya. Dengan demikian, menerapkan teori sastra dalam
analisis terhadap karya sastra berarti menerapkan konsep-konsep teori untuk
menelaah setiap unsur-unsur yang membangun karya sastra secara cermat, sehingga
makna keseluruhan yang terdapat dalam karya sastra dapat diungkap.[2]
2. Metode
Kata metode berasal dari bahasa latin methodos,dari
kata meta dan hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, dan
kata hodos berarti jalan, cara, arah. Secara lebih luas kata metode diartikan
sebagai cara-cara atau strategi untuk memahami realitas, dan langkah-langkah
sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat,
metode disamakan dengan teori, yaitu berfungsi untuk menyederhanakan masalah
sehingga memudahkan untuk memecahkan masalah itu. Jadi, metode kritik sastra
adalah cara-cara sistematis untuk memahami makna karya sastra. Menurut Rahmat
Djoko Pradopo ada empat metode kritik sastra yaitu, (1) metode structural, (2)
metode perbandingan, (3) metode sosilogi sastra, dan (4) metode estetika
resepsi. Namun dalam makalah ini penulis hanya akan membahas metode structural
sesuai dengan metode yang akan digunakan dalam menganalisis puisi/ sajak yang
ada dalam makalah.[3]
a. Metode Struktural
Metode structural berdasarkan teori bahwa karya sastra
merupakan sebuah struktur yang terdiri atas bermacam-macam unsur pembentuk
struktur. Antara unsure-unsur pembentuknya itu terdapat jalinan yang erat
(koherensi). Makna karya sastra itu hanya dapat dipahami dan di nilai
sepenuhnya atas dasar tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya
sastra. Oleh karena itu, metode structural merupakan metode kritik objektif
yang mendasarkan pada jalinan (koherensi) dengan unsur-unsur lain.[4]
Metode struktural adalah upaya menganalisis karya
sastra secara objektif dan terlepas dari soal-soal yang ada diluar teks karya
sastra. Dalam analisis struktural ini teks sastra dianggap sebagai kebulatan
makna yang berdiri sendiri secara otonom dan koherensi intern. Hal itu
disebabkan oleh perpaduan yang harmonis antara segi bentuk (yang segera tampak
oleh mata jika berbentuk visual, dan segera mudah didengar jika berbentuk audio
atau aspek formal sajak) dan isi (kandungan makna atau aspek tematis sajak).[5]
Dalam struktur karya sastra terdapat keseluruhan makna
yang padu dan bulat. Untuk mencapai keseluruhan makna yang padu dan bulat itu
sebuah karya harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu (1) ide kesatuan, (2)
ide transformasi, dan (3) ide pengaturandiri sendiri. Ketiga ide dasar
strukturalisme tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, sebuah struktur harus merupakan satu
kesatuan yang bulat dan utuh. Artinya, bagian-bagian atau unsur-unsur yang
membentuk struktur itu tidak dapat berdiri sendiri. Unsure yang satu dengan
yang lainnya harus saling berhubungan atau saling kait- mengait.
Kedua, sebuah struktur itu berisi gagasan
transformasi, dalam arti struktur tersebut tidak statis, tetapi dinamis. Sebuah
struktur mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti
bahan-bahan baru dapat diolah melalui prosedur tersebut.
Ketiga, sebuah struktur itu mampu mengatur
dirinya sendiri. Artinya, struktur itu tidak memerlukan pertolongan atau
bantuan dari luar dirinya untuk mengesahkan prosedur transformasinya.
C. PEMBAHASAN
Dalam makalah ini pemakalah
akan menganalisis sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Sajak Mas Jati
untuk Hayati” dan “ Sajak Hayati untuk
Mas Jati” dibawah ini kita simak
sajak tersebut.
Sajak Mas
Jati untuk Hayati
Setiap melewati
jalan menanjak dan berliku
Aku ingat kamu,
Hayati
Dimana cahaya
matahari kuning keemasan itu
Membangun kita
dari mimpi surga semalaman
Bukan semalam
Tapi
bermalam-malam
Bahkan
berhari-hari
Rambutmu bagai
malam yang tergerai
Hidungmu adalah
keindahan yang tak terduga
Bibirmu slalu
menerbitkan birahi
Yang
berkepanjangan
Seluruh dirimu
menjadi magnit
Yang melebihi
matahari
Bagi planet-planetnya
Sajak Hayati untuk Mas Jati
Mas Jati
Tenggelamkan
dirimu
Ke dalam diriku
Biar laut
menjadi kesadaran kita
Agar aku hlang
didalam adamu
Kaulah bayangan
sejumlah bapak
Yang dihadirkan
ibu da dalam hidupku
Kaulah, satu,
lelaki
Ada kejantanan,
keperkasaan
Uang juga ada,
sekalipun sedikit
Tapi kamu tak
pernah obral janji
Dan yang
terpentng
Kau dapat
melipat-lipat tubuhku
Kapan saja kumau
Suatu saat kita
akan
Seperti bapak Adam dan ibu Hawa
Tatkala istri formalistic telah mati
Saat
suami-kartu-nikah telah mangkat
Kelak tuhan
menciptakan
Surga-dunia dan
surga-kekalnya
Setelah sekian
khuldi
Mas Jati
Tenggelamkan
dirimu ke dalam diriku
Biar laut
menjadi kesadaran kita
Agar aku hilang
didalam adamu.
1.Analisis
Pemakalah akan menganalisis
mengenai struktur kepuitisan sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul “Sajak Mas
jati untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk Mas jati” struktur kepuitisannya dan
pada struktur fisiknya yang meliputi unsur-unsur diksi, citraan, dan sarana
retorika.
a. Diksi
Sajak Abdul Wahid B.S yang berjudul
“Sajak Mas Jati untuk Hayati” dan” Sajak Hayati untuk Mas Jati” itu termasuk
ragam sajak modern hal itu dapat dilhat dari pilihan kata atau diksinya,
pilihan kata dalam sajak abdul wachid B.S
tersebut sudah dapat dikenal dan dipaham secara umum karena menggunakan
bahasa sehari-hari tdak ada kata-kata arkais yang sulit dimengerti oleh orang
awam, hanya ada satu kata yang mungkn tidak semua orang mengerti artinya
seperti kata “formalistik” namun hanya satu kata itu saja, kata yang lain
semuanya mudah dipahami.
Diksi yang terdapat dalam sajak yang
berjudul “Sajak Mas Jati untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk Mas jati” ini
menimbulkan imajinasi yang indah bagi pembacanya, karena menggambarkan sepasang
kekasih yang sedang di mabuk asmara, saling menyayangi dan mencintai begitu
dalam. Seperti halnya realitas yang terjadi pada remaja masa kini dalam
mengungkapkan rasa cintanya yang menggebu-gebu, namun jika berbicara cinta
tidak hanya remaja saja yang terbawa tetapi semua umur dapat menikmati dan
merasakannya, hanya berbeda dalam mengapresiasikannya.
b. Citraan
Dalam sebuah sajak yang terpenting adalah
bagaimana seorang penyair berkemampuan untuk menghidupkan (apa) dunia
yang dibangunnya melalui kekuatan bahasa yang khas yang dimilikinya. Kata
“menghidupkan” terhadap apa yang dibangunya itu tentu saja menyangkut keutuhan
antara bentuk dan isi sajak. Keutuhan ini perlu sebab sajak akan sangat
mengutamakan kata-kata sebagai pendukung imaji meskipun kata-kata itu juga
berperan sebagai lambang. Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan hal yang sama,
“kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca
dengan dunia intuisi penyair. Meskipun perannya sebagai penghubung itu tak bisa
dilenyapkan, namun yang utama ialah sebagai obyek pendukung imaji”.[6]
Dalam sajak Abdul Wachid B.S yang berjudul
“Sajak Mas Jati untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk Mas Jati” dapat kita
lihat terdapat tiga bentuk citraan, yaitu citraan dengaran dan lihatan. Citraan
dengaran bisa kita lihat pada sajak “Sajak Hayati untuk Mas Jati” yang berbunyi
biar laut menjadi kesadaran kita pada kata dalam sajak tersebut pembaca
bisa mendengar suara debur ombak pada kata laut.
Citraan lihatan yang ada pada sajak Abdul
Wachid ini bisa dilihat pada sajak yang berbunyi: setiap melewati jalan
menanjak dan berliku, dimana cahaya matahari kuning keemasan itu,
rambutmu bagai malam yang tergerai, hidungmu adalah keindahan yang tak terduga,
bibirmu selalu menerbitkan birahi. Pada kata-kata tersebut pembaca
seolah-olah melihat dan merasakan
jalan sangat menanjak dan berliku
yang susah dan melelahkan untuk dilewati, cahaya matahari, rambut yang hitam,
hidung yang mancung dan bibir yang indah
seperti yang dikatakan oleh mas Jati dalam sajaknya untuk memuji atau
merayu Hayati.
Kedominanan citraan lihatan dan dengaran
dalam sajak “Sajak Mas Jati untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk Mas Jati” ini
dapat memadukan antara apa yang dilihat dan apa yang didengar . Selain itu,
juga dapat membuat suasana lebih hidup dan penuh dengan gambaran yang konkrit.
c. Sarana retorika
Lynn Alternbernd pernah mengemukakan
bahwa sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran,
yang efek pemakaiannya ialah menarik perhatian dan pemikiran pembaca sehingga
merasa tertantang untuk mencari makna sajak yang dibacanya. Pada umumnya,
pemakaian sarana retorika itu selalu menimbulkan ketegangan puitis sebab
pembaca harus memikirkan efek dari apa yang ditimbulkan dan dimaksud oleh
citraan simbolik yang menyimpan gagasan penyair.[7]
Sarana retorika yang digunakan oleh Abdul
Wachid B.S dalam sajak “Sajak Mas Jati untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk
Mas Jati” ini adalah perbandingan (simile dan metafora) dan perulangan
(paralelisme). Bentuk perbandingan dalam sajak tersebut terlihat dalam
kalimat-kalimat sebagai berikut:
(1) Rambutmu bagaikan malam yang malam yang tergerai (metafora)
(2) Seluruh dirimu menjadi magnit yang melebihi matahari bagi
planet-planetnya (metafora)
(3) Kaulah bayangan sejumlah bapak (simile)
(4) Seperti bapak Adam dan ibu Hawa (simile)
Dengan kalimat yang mengandung sarana
retorika perbandingan tersebut terasa makna yang dihadirkannya semakin kuat dan
penuh kiasan. Sajak ”Sajak Mas Jati Untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk Mas
Jati” ini menjadi prismatic setelah memahami makna kias yang dihadirkannya,
suasana dalam sajak pun akan terasa khidmat dan serius sebagai ungkapan rasa
cinta dan kasih yang sangat dalam.
Dan bentuk perulangan
(paralelisme) terlihat dalam kalimat berikut:
(1) Bukan semalaman, tapi bermalam-malam
(2) Bahkan berhari-hari
(3) Surga dunia dan surga kekalnya
Kehadiran majas paralelisme dalam sajak
ini adalah untuk menegaskan makna sajak.
D. KESIMPULAN
Dalam sajaknya Abdul Wachid B.S “Sajak Mas
Jati untuk Hayati” dan “Sajak Hayati untuk Mas Jati” yang dianalisis pemakalah
menggunakan teori dan metode strukturalisme, yaitu dalam struktur fisiknya
menggunakan diksi, citraan, dan retorika yang bagus dan menarik sehingga
menarik pembacanya untuk mencari tahu maknanya dan memahaminya, dan juga ikut merasakan
apa yang dicitrakan pada sajak.
Dan bahasa kiasannya yang unik, serta
diksi, citraan dan retorikanya tidak sekedar indah, tetapi juga romantic yang
menunjukan ekspresi dan perasaan sepasang kekasih yang sedang kasmaran, yang
saling mengungkapkan rasa cinta kasih lewat sajak. Dan ini juga secara tidak
langsung menggambarkan jiwa si penulis yaitu Abdul Wachid B.S sebagai sosok
yang romantis.
DAFTAR
PUSTAKA
Kutha Nyoman, Ratna. 2008. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suroso. 2009. Kritik Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publising.
Wachid B.S., Abdul. 2004. Ijinkan Aku Mencintaimu. Yogyakarta:
Bukulaeala.
. 2010. Analisis Struktural Semiotik. Yogyakarta: Cinta Buku.
[1]
Nyoman Kutha Ratna, Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2008), hal. 1.
[2]
Heru Kurniawan, Sastra Anak, (Yogyakarta:
Graha Ilmui, 2009), hal. 55.
[3]
Suroso, Kritik Sastra, (Yogyakarta:
Elmatera Publising, 2009), hal.79.
[4]
Ibid.
[6]
Abdul Wachid B.S, Analisis Struktural Semiotik, (Yogyakarta: Cinta Buku,
2010), hal. 130-131.
[7]
Ibid, hal.148.